Sabtu, 24 September 2011

Musik Sape' Dayak

Sape’ adalah alat musik petik dari Dayak Kayaan-Kenyah. Bentuknya seperti gitar. Perbedaannya terdapat pada posisi grip dan tak adanya lubang untuk menggaungkan bunyi petikan senar. Sumber bunyi sape’ hanya berasal dari petikan senar.
 Alat musik ini biasa dimainkan dalam acara-acara adat. Dulu, alat musik sape’ juga sering dimainkan kaum muda ketika mereka berkumpul pada malam hari. Di perkampungan masyarakat Dayak Kayaan- Kenyah pada masa lalu, sape’ juga sering dipakai kaum muda untuk mendekati perempuan yang ditaksirnya.

Biasanya sape’ dimainkan di rumah panjang atau rumah betang, yaitu rumah komunal masyarakat Dayak. Rumah betang itu disekat-sekat untuk ruang pribadi masing-masing keluarga. Di rumah betang juga tersedia ruang besar untuk acara adat atau berkumpul keluarga besar yang tinggal di rumah betang tersebut. Di ruang besar itulah, pada masa lalu, para pemuda Dayak unjuk kebolehan bermain sape’.

Read Rest Of Entry

Rumah Huma Betang, Jantungnya Suku Dayak

KOMPAS.com – Indonesia begitu kental dengan warisan budaya, sebut saja dari rumah, tari-tarian, pakaian adat sampai makanan sangat kaya ragamnya. Sayangnya, kekayaan ini begitu mudahnya terlupa karena sentuhan modernitas dan rutinitas pekerjaan. Tergugah untuk mengenal lebih dalam kekayaan bangsa yang bergelar zamrud khatulistiwa ini? Simaklah salah satu catatan perjalanan Arsitek Lucia Harri Widiastuti tentang rumah Huma Betang, pusat kehidupan Suku Dayak, Kalimantan.

Ketika pesawat landing dengan cukup baik di bandara Tjilik Riwut, akhirnya saya diberi kesempatan untuk menginjakan kaki di tanah Borneo, tanah khatulistiwa, tanah Dayak. Walau sudah tengah malam, sekitar setengah dua belas malam ditambah tidak adanya penerangan jalan, saya sedikit melihat bahwa disana ada rawa gambut, semak belukar, yang mungkin saja mudah terbakar atau dibakar. Benar-benar khatulistiwa, dan benar-benar nyamuk.

Setelah dua hari berada di Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Katingan, saya baru bisa berbincang dengan penduduk lokal “Kalimantan adalah Dayak, Dayak adalah Kalimantan,” kata seorang perempuan suku Dayak yang terkenal dengan tatonya. Bahasa yang mereka gunakan susah saya cerna. Untung ada pak Wigo, penerjemah yang selalu mengartikan dalam bahasa Indonesia.

Ketika saya berharap akan melihat rumah tradisional suku Dayak, ternyata saya salah karena satupun tak tampak. Entah karena punah atau memang bukan wilayah pemukiman suku Dayak. Yang ada hanyalah rumah-rumah panggung gaya melayu dengan tambahan ornamen tombak silang di atapnya, lambang Kalimantan.

Tak ingin kecewa, saya mencoba menuangkan tentang arsitektur tradisional suku Dayak. Arsitektur tradisional adalah arsitektur asli suatu daerah yang sudah diwariskan turun temurun oleh nenek moyang, arsitektur yang kuat dengan adat, tradisi, pola hidup, budaya, alam, serta ideologi lokal. Sifatnya, tidak boleh di ganggu gugat oleh apapun. Kadang, manusia saja yang tidak tahu diri dengan mengubahnya. Tengkorak manusia yang dipajang pada Uma Mentawai sama nilanya dengan ukiran Huma Panjang. Masyarakat membangunnya bergotong royong tanpa ada campur tangan tenaga ahli. Rakyat suku itulah yang disebut sang ahli.

Dayak, sebagai salah satu suku tertua Indonesia memiliki keistimewaan tersendiri bagi saya. Arsitektur tradisional Dayak dikenal dengan Huma Betang, atau biasa disebut rumah panjang, atau Lamin. Huma Betang bisa dijumpai di seluruh penjuru Kalimantan, terlebih di daerah hulu sungai, tempat suku Dayak bermukim. Sungai-sungai di Kalimantan biasanya lebar dan dalam. Mereka menggunakan sampan yang siap dikayuh untuk berladang dan beraktivitas lainnya.

Huma Betang, bisa mencapai panjang 150 meter, lebar 30 meter, dan tinggi 3 meter. Ruangnya terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, ruang utama rumah; ruang yang menghubungkan manusia dengan alam surgawi. Kedua, ruang bunyi gong; ruang yang menghubungkan manusia dengan penghuni alam surgawi. Ketiga, ruang ragawi yang tidak kelihatan, atau ruang surgawi.

Rumah ini merupakan rumah panjang, dengan material kayu sebagai material utama sudah sejak lama diketahui bahwa kayu cocok dengan iklim Indonesia yang tropis. Tanah rawan gempa sudah mereka persiapkan dengan kayu-kayu yang tidak terpaku, hanya terkait, bahkan tidak tertanam. Nenek moyang kita memang pandai.

Tinggal di tepian sungai yang kadang kala terlanda banjir, menjadi alasan rumah panjang itu rumah panggung. Selain itu, rumah panggung juga berfungsi untuk menghindari dari ancaman binatang buas. Bahkan ada juga sebagai kandang binatang peliharaan.

Dalam satu Huma Betang biasanya dihuni oleh beberapa keluarga, layaknya suku Dayak yang hidup berkelompok. Rumah disekat sebagai pemisah antar keluarga. Jika penghuni hendak melakukan sesuatu, seluruh penghuni akan bermusyawarah dahulu, untuk menemukan sebuah kesepekatan bersama. Maka Huma Betang merupakan jantung dari suku Dayak itu sendiri.

Suku Dayak mempercayai dalam pembangunan Huma Betang, bagian hulu rumah mengarah ke tempat sang surya terbit, dan bagian hilir mengarah ke terbenamnya matahari. Ini menjadi filosofi suku Dayak, mereka meyakini bahwa dalam menjalani hidup dimulai dari sang terbit dan pulang ke rumah menuju sang tenggelam.

Huma Betang hanya memiliki satu pintu dan tangga utama yang dinamakan hejot. Di halaman depan Huma terdapat sebuah balai yang digunakan untuk menjamu tamu atau untuk pertemuan. Di halaman tersebut juga ada sebuah patung berukir atau totem berbentuk manusia disebut sapundu. Sapandu digunakan untuk menancapkan binatang yang hendak dikurbankan saat tiwah. Halaman Huma Betang juga memiliki petahu; sebuah rumah terpisah yang dikhususkan sebagai rumah pemujaan.

Ada pula sejenis gudang bernama tukau di halaman belakang untuk menyimpan alat-alat pertanian, bawong untuk menyimpan senjata, sandung atau pambak sebagai tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal yang telah di tiwah. Sandung bisa ditempatkan di halaman depan atau di belakang.

Selain rumah sebagai jantung kehidupan, Kalimantan identik dengan sungai. Kali ini sungai itu bernama Katingan. Dari hulu ke hilir mencapai 650 km, lebarnya bisa mencapai 65 m, kedalaman 12 m. Tidak seperti halnya masyarakat Jakarta yang mempergunakan sungai sebagai halaman belakang, suku Dayak mengarahkan orientasi tata ruang menuju sungai. Sungai sebagai halaman depan. Maka, yang terlihat adalah sungai bersih berarus deras, dan memiliki fungsi ekonomi, sosial, bahkan budaya.

Sungguh, suatu pengalaman tersendiri menginjak tanah Borneo. Karena masih ada sungai yang mungkin kita tidak tahu bagaimana kembali ke hilir ketika mengayuh menuju hulu

Read Rest Of Entry

Kebudayaan Kalimantan Barat

Kalimantan Barat semua pasti sudah tahu letaknay ada di kalimantan bagian barat, provinsi ini mempunyai kebudayaan yang unik karena berbatasan langsung dengan negara tetangga disini akan kita lihat ada berbgai budaya yang ada di kalimantan barat ada budaya dayak yang eksotis dan magis, budaya yang unik dari pakain adat samapai tariannya juga kehidupan masyarakatnya yang menyatu dengan alam sungguh budaya yang tiada duanya, ada juga budaya melayu yang unik juga disini ada juga budaya tionghoa tepatnya di kota singkawang yang sudah menjadi bagian dari kalimantan barat, inilah beberapa foto budaya kalimantan barat budaya bumi borneo sebutan untuk pulau kalimantan.

Read Rest Of Entry

Panglima Burung, Antara Mitos dan Fakta

Panglima Burung, Antara Mitos dan Fakta - Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok panglima tertinggi masyarakat Dayak, Panglima Burung, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.


Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.

Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.

Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.

Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.

Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.

Amun ikam kada maulah sual awan ulun, ulun gen kada handak jua bahual lawan pian malah ulun maangkat dingsanak awan pian, begitu yang diucapkan orang Kalimantan khususnya orang Banjar untuk menggambarkan sikap dari orang-orang Dayak.

Read Rest Of Entry

Jumat, 23 September 2011

Gawai Dayak

Gawai Day or Gawai Dayak is a festival celebrated in Sarawak on 1 June every year. It is both a religious and social occasion. The word Gawai means a ritual or festival whereas Dayak is a collective name for the native ethnic groups of Sarawak (and neighboring Indonesian Kalimantan): the Iban, also known as Sea Dayak and the Bidayuh people, also known as Land Dayak. Thus, Gawai Dayak literally means "Dayak Festival". Dayak would visit their friends and relatives on this day. Such visit is more commonly known as "ngabang" in the Iban language. Those too far away to visit would receive greeting cards.

It started back in 1957 in a radio forum held by Mr Ian Kingsley, a radio programme organiser. This generated a lot of interest among the Dayak community.

The mode of celebration varies from place to place. Preparation starts early. Tuak (rice wine) is brewed (at least one month before the celebration) and traditional delicacies like penganan (cakes from rice flour, sugar and coconut milk) are prepared. As the big day approaches, everyone will be busy with general cleaning and preparing food and cakes. On Gawai Eve, glutinous rice is steamed in bamboo (ngelulun pulut). In the longhouse, new mats will be laid out on the ruai (an open gallery which runs through the entire length of the longhouse). The walls of most bilik (rooms) and the ruai are decorated with Pua Kumbu (traditional blankets). A visit to clean the graveyard is also conducted and offerings offered to the dead. After the visit it is important to bathe before entering the longhouse to ward off bad luck.

The celebration starts on the evening of 31 May. In most Iban longhouses, it starts with a ceremony called Muai Antu Rua (to cast away the spirit of greed), signifying the non-interference of the spirit of bad luck in the celebration. Two children or men each dragging a chapan (winnowing basket) will pass each family's room. Every family will throw some unwanted article into the basket. The unwanted articles will be tossed to the ground from the end of the longhouse for the spirit of bad luck.

Around 6 pm or as the sun sets, miring (offering ceremony) will take place. Before the ceremony, gendang rayah (ritual music) is performed. The Feast Chief thanks the gods for the good harvest, and asks for guidance, blessings and long life as he waves a cockerel over the offerings. He then sacrifices the cockerel and a little blood is used together with the offerings.

Once the offering ceremony is done, dinner is then served at the ruai. Just before midnight, a procession up and down the ruai seven times called Ngalu Petara (welcoming the spirit gods) is performed. During this procession, a beauty pageant to choose the festival's queen and king (Kumang & Keling Gawai) is sometimes conducted. Meanwhile, drinks, traditional cakes and delicacies are served.

At midnight, the gong is beaten to call the celebrants to attention. The longhouse Chief (tuai rumah) or Festival Chief will lead everyone to drink the Ai Pengayu (normally tuak for long life) and at the same time wish each other "gayu-guru, gerai-nyamai" (long life, health and prosperity). The celebration now turns merrier and less formal. Some will dance to the traditional music played, others will sing the pantun (poems). In urban areas, Dayaks will organise gatherings at community centres or restaurants to celebrate the evening.

Other activities that may follow the next few days include: cock-fighting matches, and blowpipe and ngajat competitions. On this day, 1 June, homes of the Dayaks are opened to visitors and guests.

Traditionally, when guests arrive at a longhouse, they are given the ai tiki as a welcome. From time to time, guests are served tuak. This would be called nyibur temuai which literally means "watering of guests".

Christian Dayaks normally attend a church mass service to thank God for the good harvest.

Gawai Dayak celebrations may last for several days. It is also during this time of year that many Dayak weddings take place, as it is one of the rare occasions when all the members of the community return home to their ancestral longhouse.

Up till 1962, the British colonial government refused to recognise Dayak Day. Gawai Dayak was formally gazetted on 25 September 1964 as a public holiday in place of Sarawak Day. It was first celebrated on 1 June 1965 and became a symbol of unity, aspiration and hope for the Dayak community. Today, it is an integral part of Dayak social life. It is a thanksgiving day marking good harvest and a time to plan for the new farming season or activities ahead.

Read Rest Of Entry

Kamis, 15 September 2011

Dayak people



History of the Dayak People
The consensus interpretation in modern anthropology is that nearly all indigenous peoples of South East Asia, including the Dayaks, are descendants of a larger Austronesian migration from Asia, thought to have settled in the South East Asian Archipelago some 3,000 years ago. The first populations spoke closely-related Austronesian languages, from which Dayak languages are traced. About 2,450 years ago, metallurgy was introduced; it later became widespread.

The main ethnic groups of Dayaks are the Bakumpai and Dayak Bukit of South Kalimantan, The Ngajus, Baritos, Benuaqs of East Kalimantan, the Kayan and Kenyah groups and their subtribes in Central Borneo and the Ibans, Embaloh (Maloh), Kayan, Kenyah, Penan, Kelabit, Lun Bawang and Taman populations in the Kapuas and Sarawak regions. Other populations include the Ahe, Jagoi, Selakau, Bidayuh, and Kutais.

The Dayak people of Borneo possess an indigenous account of their history, partly in writing and partly in common cultural customary practices. In addition, colonial accounts and reports of Dayak activity in Borneo detail carefully cultivated economic and political relationships with other communities as well as an ample body of research and study considering historical Dayak migrations. In particular, the Iban or the Sea Dayak exploits in the South China Seas are documented, owing to their ferocity and aggressive culture of war against sea dwelling groups and emerging Western trade interests in the 19th and 20th centuries.

During World War II, the Japanese occupied Borneo and treated all of the indigenous peoples poorly - massacres of the Malay and Dayak peoples were common, especially among the Dayaks of the Kapit Division. Following this treatment, the Dayaks formed a special force to assist the Allied forces. Eleven United States airmen and a few dozen Australian special operatives trained a thousand Dayaks from the Kapit Division to battle the Japanese with guerilla warfare. This army of tribesmen killed or captured some 1,500 Japanese soldiers and were able to provide the Allies with intelligence vital in securing Japanese-held oil fields.

Coastal populations in Borneo are largely Muslim in belief, however these groups (Ilanun, Melanau, Kadayan, Bakumpai, Bisayah) are generally considered to be Islamized Dayaks, native to Borneo, and heavily influenced by the Javanese Majapahit Kingdoms and Islamic Malay Sultanates.

Traditional headhunter culture
In the past the Dayak were feared for their ancient tradition of headhunting practices. After conversion to Islam or Christianity and anti-headhunting legislation by the colonial powers the practice was banned and disappeared, only to resurface in the late 90s, when Dayak started to attack Madurese emigrants in an explosion of ethnic violence.


Agricultural
Traditionally, Dayak agriculture was based on swidden rice cultivation. Agricultural Land in this sense was used and defined primarily in terms of hill rice farming, ladang (garden), and hutan (forest). Dayaks organised their labour in terms of traditionally based land holding groups which determined who owned rights to land and how it was to be used. The "green revolution" in the 1950s, spurred on the planting of new varieties of wetland rice amongst Dayak tribes.

The main dependence on subsistence and mid-scale agriculture by the Dayak has made this group active in this industry. The modern day rise in large scale monocrop plantations such as palm oil and bananas, proposed for vast swathes of Dayak land held under customary rights, titles and claims in Indonesia, threaten the local political landscape in various regions in Borneo. Further problems continue to arise in part due to the shaping of the modern Malaysian and Indonesian nation-states on post-colonial political systems and laws on land tenure. The conflict between the state and the Dayak natives on land laws and native customary rights will continue as long as the colonial model on land tenure is used against local customary law. The main precept of land use, in local customary law, is that cultivated land is owned and held in right by the native owners, and the concept of land ownership flows out of this central belief. This understanding of adat is based on the idea that land is used and held under native domain. Invariably, when colonial rule was first felt in the Kalimantan Kingdoms, conflict over the subjugation of territory erupted several times between the Dayaks and the respective authorities.

Religion
The Dayak indigenous religion has been given the name Kaharingan, and may be said to be a form of animism. For official purposes, it is categorized as a form of Hinduism in Indonesia. Nevertheless, these generalizations fail to convey the distinctiveness, meaningfulness, richness and depth of Dayak religion, myth and teachings. Underlying the world-view is an account of the creation and re-creation of this middle-earth where the Dayak dwell, arising out of a cosmic battle in the beginning of time between a primal couple, a male and female bird/dragon (serpent). Representations of this primal couple are amongst the most pervasivel motifs of Dayak art. The primal mythic conflict ended in a mutual, procreative murder, from the body parts of which the present universe arose stage by stage. This primal sacrificial creation of the universe in all its levels is the paradigm for, and is re-experienced and ultimately harmoniously brought together (according to Dayak beliefs) in the seasons of the year, the interdependence of river (up-stream and down-stream) and land, the tilling of the earth and fall of the rain, the union of male and female, the distinctions between and cooperation of social classes, the wars and trade with foreigners, indeed in all aspects of life, even including tattoos on the body, the lay-out of dwellings and the annual cycle of renewal ceremonies, funeral rites, etc. The practice of Kaharingan differs from group to group, but shamans, specialists in ecstatic flight to other spheres, are central to Dayak religion, and serve to bring together the various realms of Heaven (Upper-world) and earth, and even Under-world, for example healing the sick by retrieving their souls which are journeying on their way to the Upper-world land of the dead, accompanying and protecting the soul of a dead person on the way to their proper place in the Upper-world, presiding over annual renewal and agricultural regeneration festivals, etc. Death rituals are most elaborate when a noble (kamang) dies. On particular religious occasions, the spirit is believed to descend to partake in celebration, a mark of honour and respect to past ancestors and blessings for a prosperous future.

Over the last two centuries, some Dayaks converted to Islam, abandoning certain cultural rites and practices. Christianity was introduced by European missionaries in Borneo. Religious differences between Muslim and Christian natives of Borneo has led, at various times, to communal tensions. Relations, however between all religious groups are generally good.

Muslim Dayaks have however retained their original identity and kept various customary practices consistent with their religion.

An example of common identity, over and above religious belief, is the Melanau group. Despite the small population, to the casual observer, the coastal dwelling Melanau of Sarawak, generally do not identify with one religion, as a number of them have Islamized and Christianised over a period of time. A few practise a distinct Dayak form of Kaharingan, known as Liko. Liko is the earliest surviving form of religious belief for the Melanau, predating the arrival of Islam and Christianity to Sarawak. The somewhat patchy religious divisions remain, however the common identity of the Melanau is held politically and socially. Social cohesion amongst the Melanau, despite religious differences, is markedly tight.

Despite the destruction of pagan religions in Europe by Christians, most of the people who try to conserve the Dayak's religion are missionaries. For example Reverend William Howell who has contributed to the Sarawak National Gazette. His contributions were also compiled in the book The Sea Dayaks and Other Races of Sarawak.

Society
Kinship in Dayak society is traced in both lines. Although, in Dayak Iban society, men and women possess equal rights in status and property ownership, political office has strictly been the occupation of the traditional Iban Patriarch. Overall Dayak leadership in any given region, is marked by titles, a Penghulu for instance would have invested authority on behalf of a network of Tuai Rumah's, and so on to a Temenggung or Panglima. It must be noted that individual Dayak groups have their social and hierarchy systems defined internally, and these differ widely from Ibans to Ngajus and Benuaqs to Kayans.


The most salient feature of Dayak social organisation is the practice of Longhouse domicile. This is a structure supported by hardwood posts that can be hundreds of metres long, usually located along a terraced river bank. At one side is a long communal platform, from which the individual households can be reached. The Iban of the Kapuas and Sarawak have organized their Longhouse settlements in response to their migratory patterns. Iban Longhouses vary in size, from those slightly over 100 metres in length to large settlements over 500 metres in length. Longhouses have a door and apartment for every family living in the longhouse. For example, a Longhouse of 200 doors is equivalent to a settlement of 200 families.

Headhunting was an important part of Dayak culture, in particular to the Iban and Kenyah. There used to be a tradition of retaliation for old headhunts, which kept the practice alive. External interference by the reign of the Brooke Rajahs in Sarawak and the Dutch in Kalimantan Borneo curtailed and limited this tradition. Apart from massed raids, the practice of headhunting was then limited to individual retaliation attacks or the result of chance encounters. Early Brooke Government reports describe Dayak Iban and Kenyah War parties with captured enemy heads. At various times, there have been massive coordinated raids in the interior, and throughout coastal Borneo, directed by the Raj during Brooke's reign in Sarawak. This may have given rise to the term, Sea Dayak, although, throughout the 19th Century, Sarawak Government raids and independent expeditions appeared to have been carried out as far as Brunei, Mindanao, East coast Malaya, Jawa and Celebes. Tandem diplomatic relations between the Sarawak Government (Brooke Rajah) and Britain (East India Company and the Royal Navy) acted as a pivot and a deterrence to the former's territorial ambitions, against the Dutch administration in the Kalimantan regions and client Sultanates.

Metal-working is elaborately developed in making mandaus (machetes - 'parang' in Indonesian ). The blade is made of a softer iron, to prevent breakage, with a narrow strip of a harder iron wedged into a slot in the cutting edge for sharpness. In headhunting it was necessary to able to draw the parang quickly. For this purpose, the mandau is fairly short, which also better serves the purpose of trailcutting in dense forest. It is holstered with the cutting edge facing upwards and at that side there is an upward protrusion on the handle, so it can be drawn very quickly with the side of the hand without having to reach over and grasp the handle first. The hand can then grasp the handle while it is being drawn. The combination of these three factors (short, cutting edge up and protrusion) makes for an extremely fast drawing-action. The ceremonial mandaus used for dances are as beautifully adorned with feathers, as are the costumes. There are various terms to describe different types of Dayak blades. The Nyabor is the traditional Iban Scimitar, Parang Ilang is common to Kayan and Kenyah Swordsmiths, and Duku is a multipurpose farm tool and machete of sorts.

Politics
Dayaks in Indonesia and Malaysia have figured prominently in the politics of these countries. Organised Dayak political representation in the Indonesian State first appeared during the Dutch Administration, in the form of the Dayak Unity Party (Parti Persatuan Dayak) in the 30s and 40s. Feudal Sultanates of Kutai, Banjar and Pontianak figured prominently prior to the rise of the Dutch Colonial rule.

Dayaks in Sarawak in this respect, compare very poorly with their organised brethren in the Indonesian side of Borneo, partly due to the personal fiefdom that was the Brooke Rajah dominion, and possibly to the pattern of their historical migrations from the Indonesian part to the then pristine Rajang Basin. Political circumstances aside, the Dayaks in the Indonesian side actively organised under various associations beginning with the Sarekat Dayak established in 1919, to the Parti Dayak in the 40s, and to the present day, where Dayaks occupy key positions in government.

In Sarawak, Dayak political activism had its roots in the SNAP (Sarawak National Party) and Pesaka during post independence construction in the 1960s. These parties shaped to a certain extent Dayak politics in the State, although never enjoying the real privileges and benefits of Chief Ministerial power relative to its large electorate.

Under Indonesia's transmigration programme, settlers from densely-populated Java and Madura were encouraged to settle in the Indonesian provinces of Borneo. The large scale transmigration projects initiated by the Dutch and continued by the current national government, caused widespread breakdown in social and community cohesion during the late 20th Century. In 2001 the Indonesian government ended the gradual Javanese settlement of Indonesian Borneo that began under Dutch rule in 1905.

From 1996 to 2003 there were systemic and violent attacks on Indonesian Madurese settlers, including mass executions of whole Madurese transmigrant communities. The violence culminated in the Sampit conflict in 2001 which saw more than 500 deaths in that year alone. Eventually, order was restored by the Indonesian Military but this was late in application.

Read Rest Of Entry

Rabu, 14 September 2011

Sejarah Perpolitikan Dayak di Kal-Bar

Pembaca yang terhormat,agar sejarah politik Dayak di Kalimantan Barat terdokumentasikan, saya mencoba untuk merangkainya dari berbagai sumber. mudah-mudahan dapat dilengkapi oleh kawan-kawan peminat sejarah dan politik Dayak. mohon kritik dan sarannya serta masukan datanya dikirim via email ke saya. terima kasih.

22 Mei - 24 Juli 1894
Musyawarah Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu Kalimantan Tengah. Para kepala adat se-kalimantan berkumpul dan sepakat untuk menghentikan “pengayauan” antar orang Dayak. Musyawarah ini disaksikan oleh pemerintah kolonial Belanda.

1919
Berdiri Sarikat Dayak di Kalimantan Tengah. Pendirinya M. Lampe, Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian L. Kamis, Tamanggung Toendan, Achmad Anwar, Hausman Baboe dan Mohamad Norman.

20 Agustus 1938
Sarikat Dayak diubah menjadi Pakat Dayak. Kantor pusat dipindahkan ke Kalimantan Selatan. Ketua umumnya sdr Mahir Mahar

13 Mei 1944
Deklarasi Angkatan Perang Majang Desa. Dari bulan April hingga Agustus 1944, terjadi Perang yang dikenal dengan Perang Madjang Desa di Embuan Kunyil, Kec. Meliau Kab. Sanggau. Pendirinya Temenggung Mandi/Pang Dandan, Menera alias Pang Suma, Agustinus Timbang,dkk

30 Oktober 1945
Berdiri Daya In Action (DIA) di Putussibau Kapuas Hulu Kalbar, didirikan oleh FC. Palaoensoeka,dkk dengan pastor moderator Pastor Adikarjana,SJ.

1 Nopember 1945
DIA diubah menjadi Partai Persatuan Daya (PD). Kantor pusat dipindahkan ke Pontianak. Tokoh-tokohnya antara lain Oevaang, AF Korak, Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun, HM Sauk, FC Palaoensoeka.

Oktober 1946
NICA mendirikan sebuah Dewan Kalimantan Barat yang beranggotakan perwakilan dari 40 kelompok etnis, pegawai pemerintah dan seorang anggota dari masing-masing keswaprajaan yang baru dikukuhkan kembali. Letnan Gubernur Van Mook tampak menggunakan dewan ini sebagai batu loncatan untuk membuat negara sendiri di Kalimantan Barat seperti yang telah dilakukannya untuk negara Indonesia Timur di dalam kaitannya mendirikan Negera Indonesia Serikat (federasi)

12 Mei 1947
Karesidenan Kalbar diubah menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Melalui DIKB ini, para pengurus PD (Oevaang, AF Korak, Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun, HM Sauk) diangkat menjadi anggota badan pemerintah harian (Dagelijhk Bertuur) Daerah Istimewa Kalimantan Barat.

13-15 Juli 1950
Kongres Pertama PD Se-Kalimantan Barat di Sanggau. Ketua Umum pertama PD: FC Palaoensoeka. Dalam upayanya untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan colonial, PD mencanangkan program (dan kredo) pemberdayaan diri: “nasibmu terletak pada usahamu” (di usahamu letak nasibmu).

29 September 1955
PEMILU untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Persatuan Daya (PD) memperoleh 146.054 suara atau 0,39% dan berhak mendapat 1 kursi DPR-RI.

15 Desember 1955
PEMILU anggota Konstituante. Persatuan Daya (PD) memperoleh 169.222 suara atau 0,45% dan berhak mendapat 3 kursi di Konstituante.

1 Maret 1956
Pengumuman Hasil Pemilu 1955. Berikut Hasil Pemilu 1955 di Kalbar: Persatuan Dayak 12 kursi, Masyumi 9 Kursi, PNI 4 kursi, NU 2 kursi, IPKI 1 kursi, PSI 1 kursi dan PKI 1 kursi. Total kursi yang tersedia 30 kursi.

1 Januari 1957
Propinsi Kalimantan Barat terbentuk berdasarkan UU No 25 Tahun 1956. Gubernur Pertama adalah AP. Afllus, periode 1957-1958 menyusul DA Yudadibrata pada periode 1958-1959.

13 Nopember 1958
Sidang I DPRD Kalbar yang menetapkan 3 calon Kepala Daerah yakni YC Oevang Oeray (PD), Musani A.Rani (Masyumi) dan Lumban Tobing (PNI). Melalui Keppres RI No 59 Tahun 1959, Oevang Oeray ditetapkan sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalbar. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dikeluarkanlah Penpres No.6/1959 tentang Bentuk, Susunan, Tugas dan Kekuasaan Pemerintah Daerah.

14 Nopember 1959
Sidang DPRD Tk I Kalbar, Oevang Oeray berhasil terpilih sebagai Gubernur KDH Tk.I Kalbar yang disahkan oleh Keppres No.465/1959, tanggal 24 Desember 1959 untuk periode 1 Januari 1960-12 Juli 1966.

5 Juli 1959
Dekrit Presiden, yang menyatakan pembubaran Konstituante dan berlaku kembali UUD’45. Presiden Soekarno secara sepihak melalui Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

4 Juni 1960
Presiden membubarkan DPR-RI hasil Pemilu 1955 setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah.

1960-1966
Beraliansi dengan PNI, PD berhasil menempatkan orang-orangnya dipemerintahan, yakni:
1. Anggota konstituante (JC Oevang Oeray, A. Djelani, Wilibrodus Hitam yang meninggal dan digantikan Daniel, wedana Bengkayang).
2. DPR-RI (FC Palaunsoeka),
3. Gubernur (Oevang Oeray), dan
4. Bupati (MTH Djaman/Sanggau, GP Djaoeng/Sintang, Amastasius Syahdan/Kapuas Hulu dan Agustinus Djelani/Pontianak).

Bulan Juli 1966
Gubernur Oevang Oeray, digulingkan dari kekuasaannya karena dituduh orang Soekarno, karena posisinya di Partindo, sebuah partai politik yang didirikan Soekarno. Selain tokoh politik PD dihabisi pemerintah, banyak PNS Dayak yang diberhentikan dengan tuduhan terlibat PKI, sebuah partai yang mencoba melakukan KUDETA tahun 1965 di Jakarta dan membunuh jendral-jendral TNI Angkatan Darat

Menjelang tahun 1967
Oleh rezim Orde Baru, 4 Bupati orang Dayak dari PD juga diganti.

23 Maret 1985
Berdiri Dewan Adat Dayak Kab. Pontianak di SMP Anjungan Kab. Pontianak. Terpilih F. Bahaudin Kay sebagai Ketua Umum DAD.

9 Februari 1994
Pemilihan Bupati Sintang, Drs. LH Kadir kalah karena dibohongi Golkar. Disepanjang lereng Gunung Seha’ Kab. Landak ratusan massa Dayak memblokir jalan dan menebang pohon karena kecewa dengan Golkar.

12 Agustus 1994
Berdiri Majelis Adat Dayak Kalbar di Kota Pontianak. Terpilih sebagai ketua umum Yacobus F. Layang,SH, dan Sekretaris Umum DR. Piet Herman Abik M.App.Sc

1995
Pemilihan Bupati Kapuas Hulu, Yacobus F Layang,SH berhasil terpilih. Inilah Bupati pertama Orang Dayak pasca Persatuan Dayak (PD) atau selama pemerintah Orde Baru berkuasa.

13 Maret 1995
Dibentuk Pengurus Daerah Paguyuban Salus Populi Kalbar, yang diketuai Drs SM Kaphat, sebuah organisasi pengkaderan umat katolik dalam bidang politik.

1996/1997
Terjadi kerusuhan antar etnik Dayak dengan Madura di Sanggau Ledo Kabupaten Sambas (Sekarang Kabupaten Bengkayang), dan meluas di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sanggau.

1998
Pemilihan Bupati Sanggau, Michael Anjioe terpilih sebagai Bupati Dayak ketiga di Kalbar. Terjadi aksi ribuan massa Dayak menolak Calon yang diusung Golkar (Drs Soemitro) dan menurunkan paksa ZA Baisuni (militer-madura) sebagai Bupati Sanggau.

5 Februari 1999
Pemilihan Bupati Pontianak, Drs. Cornelius Kimha, M.Si menjadi Bupati Dayak kedua di Kalbar. Terjadi pembakaran Gedung DPRD Mempawah oleh ribuan massa yang kecewa karena calonnya (Drs. Cornelis, Camat Menyuke, sekarang Gubernur Kalbar) tidak terakomodir partai politik di DPRD

1999
Terjadi kerusuhan antar etnik Melayu—Dayak dengan Madura di Kabupaten Sambas, meluas di Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang.

5 Desember 1999
Musyawarah Besar Ikatan Keluarga Dayak Islam (IKDI) Kalbar di Auditorium Universitas Muhammadiyah Pontianak. Organisasi ini diketuai oleh Drs. Husni Amanullah.

1999
Pemilihan MPR-RI Utusan Daerah Kalbar, dalam pemilihan, Dayak menuntut perimbangan 2:2:1 (2 Dayak, 2 Melayu dan 1 Tionghoa), namun perjuangan ini kandas dan aksi ribuan massa Dayak dibalas dengan serangan fisik oleh TNI dan Polisi terhadap massa yang mencoba membakar Gedung DPRD Propinsi Kalbar. Beberapa orang massa luka-luka.

1999
Drs. Yacobus Luna terpilih sebagai plt Bupati Bengkayang, Bupati Dayak keempat di Kalbar. Pemekaran Kabupaten Sambas. Dalam Pemilihan Bupati Bengkayang, Yacobus Luna berhasil terpilih untuk periode 2000-2005

2001
Gagal pada pemilihan Bupati Pontianak tahun 1998, Drs Cornelis, terpilih sebagai Bupati Landak, Bupati Dayak kelima di Kalbar. Pemekaran Kabupaten Pontianak tahun 2000. dalam pemilihan Bupati Landak, Drs Cornelis berhasil terpilih sebagai bu[ati periode 2001-2006.

2002
Drs Elyakim Simon Djalil, terpilih sebagai Bupati Sintang, Bupati Dayak keenam di Kalbar. Ada aksi-aksi massa Dayak yang menuntut agar Bupati harus Dayak

Mei 2003
Menghadapi Pemilihan Gubernur Kalbar tahun 2003, GP Djaoeng, Mantan Bupati Sintang dimasa Partai Persatuan Dayak mengajak elit politik Dayak untuk bersatu (baca: KR No.93/Th.XII/Mei 2003)

18 November 2003
Blokade Bis disebadu sehubungan tidak adanya Calon Gubernur Dayak yang mandapat perahu partai politik di propinsi. Di Desa Sebadu dan Desa Garu Kab. Landak. Ribuan massa rakyat Dayak kecewa dan memblokir jalan serta menebang pohon. Aksi reda setelah Bupati Landak, Drs. Cornelis turun tangan dan mengajak massa untuk berhenti beraksi jalanan. Pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, kelompok Dayak tidak terwakili (semua menjadi Calon Wakil Gubernur)

9 April 2004
PEMILU Legislatif. Berikut perolehan kursi DPRD Propinsi Kalbar: Golkar 14 Kursi, PDIP 10 Kursi, PPP 8 Kursi, PD 7 Kursi, PAN 4 Kursi, PKS 2 Kursi, PDS 3 Kursi, PBR 2 Kursi, Merdeka, PDK, PKB,PNBK dan PKPB masing-masing 1 kursi. Total kursi di DPRD Propinsi 55 Kursi. 15 kursi diantaranya diisi oleh anggota DPRD Propinsi Kalbar dari etnis Dayak yang tersebar pada 6 partai politik yakni: PDIP, Golkar, P. Demokrat, P. Merdeka, PDK dan PDS.

2005
Pasca Pemilu 2004, sistem Pemilihan Kepala Daerah berubah menjadi Pemilihan Langsung oleh Rakyat (PILKADA) berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005. Syarat calon adalah diusung oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dengan suara minimal 15%

26 Juli 2005
Berdiri secara resmi Pergerakan Cendekiawan Dayak (PCD) Kalbar sebagai wadah alternatif perjuangan politik orang Dayak. PCD bercita-cita mengumpulkan seluruh sumber daya lokal, nasional dan internasional untuk Kemajuan dan Perjuangan Politik Orang Dayak di Kalimantan. Tokoh-tokohnya Ir. Kristianus Atok, Ir. Dominikus Baen, Surianata S.Pd, Drs. Stevanus Buan, Yohanes Supriyadi, SE, Agustinus, S.Pd, Mikael, SH, Frans Ateng, SE, Lempeng, S.Pd, dll

2005
Pilkada Sintang, terpilih Drs. Milton Crosby, M,Si. (Dayak) Sebagai bupati (Gabungan Partai Politik)

2005
Pilkada Bengkayang, terpilih Drs. Yacobus Luna M.Si (Dayak) sebagai Bupati (PDI Perjuangan)

2005
Pilkada Sekadau, terpilih Simon Petrus,S.Sos (Dayak) sebagai Bupati (Gabungan Partai Politik)

2005
Pilkada Melawi, terpilih Drs. Suman Kurik,MM (Dayak) sebagai Bupati (Gabungan Partai Politik)

2006
Pilkada Landak, terpilih Drs. Cornelis,MH (Dayak) sebagai Bupati (PDI Perjuangan)

2007
Pilkada Gubernur Kalbar periode 2008-2013 yang dilaksanakan pada bulan Nopember 2007. Dalam Pilkada ini, Golkar dan PDIP secara otomatis dapat mencalonkan kadernya sebagai Calon Gubernur Kalbar karena melewati 15% dari total suara hasil Pemilu 2004. Golkar mengajukan pasangan Usman Jafar dengan LH Kadir, Sedangkan kandidat di PDIP adalah Drs. Cornelis,MH (Ketua DPD PDIP Kalbar yang juga Bupati Landak). Koalisi Partai Demokrat mengajukan Usman Sapta/ Ignatius Liong, dan partai non parlemen mengajukan Akil Mochtar/AR Mecer. Dari keempat kandidat Gubernur Kalbar tersebut diatas, hanya satu (1) dari kalangan etnis Dayak yakni Drs. Cornelis,MH.

2008
Tanggal 14 Januari 2008, telah dilantik Drs Cornelis MH dan Christiandy Sanjaya sebagai Gubernur Kalbar dan Wakil Gubernur Kalbar periode 2008-2013.

Read Rest Of Entry

Kedudukan Wanita Dalam Masyarakat Dayak

Sistem geneologis dalam masyarakat Dayak adalah parental, dimana garis keturunan ayah dan ibu dianggap sama. Ini berbeda dengan sistem patrilineal (garis keturunan ayah/lelaki) ataupun sistem matrilineal (garis keturunan ibu/perempuan. Karena itu dalam masyarakat Dayak pada hakekatnya kaum wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria. Baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan religius kaum wanita cukup menonjol peranannya. Bila dibandingkan dengan agama-agama lain seperti Kristen yang memerlukan waktu panjang sekali untuk membangkitkan wanita menjadi pendeta. Maka dalam masyarakat Dayak sudah sejak semulanya kaum wanita berperan sebagai Balian (imam, priestress). Di kalangan suku Dayak Maanyan umpamanya, jabatan balian kematian (wadian matei) hanya dijabat kaum wanita.


Kdudukan wanita dalam masyarakat Dayak ini dijamin dalam hukum adat, seperti dalam hukum adat perkawinan. Pada dasarnya perkawinan di kalangan suku Dayak bersifat monogami. Adanya poligami adalah suatu keadaan tidak normel, keadaan yang luar biasa atau di luar kebiasaan. Bila hal tersebut terjadi ada ketentuan adat yang memberikan keunggulan kepada istri pertama. Bila terjadi perjinahan, ada sanksi-sanksi yang tegas dalam hukum adat. Biasanya pengaturannya cukup rinci, seperti:

* Perjinahan dengan kaum wanita yang sudah menikah atau bersuami; inipun dibedakan lagi antara wanita yang sudah punya anak dengan yang belum punya anak.
* Perjinahan yang dilakukan oleh lelaki yang sudah beristri hukumnya berbeda dengan lelaki yang belum beristri; dan banyak lagi ketentuan-ketentuan adat yang pada dasarnya hendak menjamin kedudukan kaum wanita.

Read Rest Of Entry

Upacara Adat Nyabakng Oleh Suku Dayak Bakati’

Lepas dari kursi bis, perjalanan disambung dengan sepeda motor selama tiga puluh menit dari kota Kecamatan Sanggau Ledo, menyusuri jalan tanah campur batu bersusun menuju Kampung Segiring, Desa Pisak, Kecamatan Tujuh Belas itu, melintasi hamparan kebun lada, jagung dan karet disela-sela batas rumah penduduk. “Sumber hidup kami ini bergantung pada tiga jenis komoditi ini. Kalau karet sifatnya harian, jagung bulanan. Sedang lada dan padi, tahunan” (Sais, Wakil Ketua Badan Pemusyawaratan Desa, Desa Pisak, 2007).

Memasuki perkampungan Dayak Bakati’ yang sebagian besar warganya bertanam karet, jagung, lada itu, tak ada lagi rumah betang yang menandainya sebagai sebuah kampung Dayak. Rumah betang merupakan tempat tinggal bersambung pada masyarakat Dayak di Kalimantan dan Malaysia Timur yang memiliki filosofi kebersamaan, demokratis dan ekologis itu telah musnah seiring karena faktor politik pada 1904 dimana kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda untuk memusnahkan rumah betang (Paulus Florus,et.al., 2005).

Rumah betang sebagai gambaran keadaan kampung Dayak Bakati’ di daerah ini sudah berganti dengan rumah-rumah tunggal berdinding semen, jendela kaca. Sebagian besar, bahkan sudah berhias parabola berikut aksesoris seperti pemutar cakram video. Sekilas kampung Segiring sudah menjadi kampung yang modern. Sebagian besar warga memiliki perabot rumah tangga modern, alat dapur mengunakan listrik dan gas, bahkan gaya hidup modern.

Namun, ditengah perubahan kehidupan tradisional menuju modern itu ternyata menyisakan persoalan pelik. Dari tujuh puluh enam kepala keluarga kampung ini, kini tinggal sebagian kecil yang masih memegang teguh adat, budaya dan kepercayaan asli Dayak Bakati’ semisal ritual Nyabangk, yakni ritual upacara adat menutup siklus tahun perladangan yang lama dan membuka tahun perladangan yang baru.

Hanya delapan kepala keluarga yang masih berpegang dan melanjutkan tradisi yang diwariskan Roda Dua Mansa nenek moyang mereka yang berasal dari Pemagen (panglima atau pemenggal kepala) yang hidup beranak pinak di Segiring. Roda Dua Mansa ini memperanakan Supai Mak Upik, Sadani Mak Ngaji dan Santak Mak Batakng. Dari keluarga inilah, selanjutnya warga Segiring berasal hingga kini.

Bagi masyarakat perkotaan, padi atau beras hanyalah sekadar barang kebutuhan sehari-hari. Komoditas yang dapat dibeli asalkan ada uang. Tetapi, bagi masyarakat adat Dayak Bakati’ di daerah Kabupaten Bengkayang, padi dan beras bukanlah semata-mata komoditas semata, melainkan berkat Jebata (Sang Pencipta) yang harus disyukuri.

Padi dan beras adalah sumber kehidupan masyarakat Dayak Bakati’. Karena itu, seluruh rangkaian proses produksi padi itu tidak terlepas dari campur tangan Jebata yang harus selalu dipandang sebagai rangkaian perjalanan hidup itu sendiri. Tidak mengherankan kalau masyarakat Dayak Bakati’ menganggap seluruh alur proses produksi padi : matuk (meminta izin untuk menggarap ladang baru), numa (membersihkan belukar di areal ladang), nabet (menebang pohon), najak (memotong cabang-cabang pohon yang telah tumbang dijadikan hamparan), nyauk (mengeringkan pohon yang ditebang dan siap dibakar), ngeraih (membuat pembatas api di sekeliling ladang), natak (membakar), nyabiong (menempatkan semangat padi) dan nyabangk atau upacara adat tutup tahun sebagai suatu kronologis penting dalam siklus aktivitas perladangan hidup mereka.

Mereka menghayati rangkaian proses itu dalam bentuk-bentuk kegiatan ritual berkaitan dengan kegiatan perladangan yang sudah bermakna religius dan selalu dihubungkan dengan kebesaran Jebata.

Dalam semangat itu pulalah upacara adat Nyabangk masyarakat Bakati’ di Kabupaten Bengkayang, Kalbar, pada 19-21 Mei 2007 lalu harus dipahami. Nyabangk itu sendiri sebenarnya sudah menjadi kegiatan rutin tahunan masyarakat Bakati’ dan selalu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Jebata atas hasil panen padi atau pertanian lainnya yang diperoleh dan selanjutnya memohon berkat dan lindungan untuk tahun berikutnya.

Pelaksanaannya, para tua-tua adat yang terdiri dari Amak Sabangk dan Amak Gandangk serta anggota masyarakat yang merayakanya memberi makan roh-roh Pemagen dengan sesaji yang terdiri dari : daging, darah, kepala, hati (anjing, babi, ayam), beras kuning, beras pulut, nasi panggang, lambang (lemang), sirih, pinang, kapur, gambir, besi, tembako, air tawar, tepung beras, tumpi, ketupat, telur ayam kampung, kundur, timun, ampa padi, lenjuang, pelangkang, tapai tuak, tuak jandungk, nasi buis, pekasam babi hutan, udang, ikan, kepiting, siput, daun durian dan langsat, batang pisang, ratih padi, biji timun dan nasi sungki serta apar.

Sesaji itu dipersembahkan di lima tempat yakni di wilayah Marindu ditetapkan sebagai daerah penungkul (tapal batas wilayah) satu. Penungkul dua di jalan Sei Pisak dan penungkul tiga di jalan Gunung Temuak. Selanjutnya tempat yang keempat di Benen (lokasi penyembahan), dan tempat terakhir di Pungok yaitu rumah adat yang letaknya di tengah-tengah kampung. Persembahan sesaji ini selain dilakukan di lima tempat di atas, juga dilakukan di rumah Ama Sabangk dan Ama Gandangk serta warga yang merayakannya. Biasanya disudut setiap bilik rumah ada tempat pemujaan.

Bedanya jenis bahan sesaji antara di lima tempat dan di rumah Amak Sabangk, Amak Gandangk dan anggota adalah pada jenis binatang yang akan dipersembahkan. Di rumah anggota tidak perlu anjing. Anjing hanya sesaji dipersembahkan di daerah penungkul. Hal ini dilakukan karena anjing merupakan simbol memiliki panca indera yang tajam. Dapat menjaga wilayah dari berbagai macam kejahatan.

Pungok berukuran lima kali lima meter ini tak disangka menyimpan misteri Dayak Bakati’. Sedikitnya tiga puluh tengkorak manusia disimpan dalam tiga keranjang di atas bilik. Tengkorak-tengkorak itu dikumpulkan oleh puak-puak Dayak Bakati’ sebelum tradisi mengayau pada masyarakat Dayak dihentikan tahun 1894 pada Perjanjian Damai Tumbang Anoi yang di prakarsai oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Kalimantan Tengah (Edi Petebang, 2005).

Dua diantaranya dikenali, Senyarong Kijang dan Sumang Manyurut. Tengkorak Senyarong Kijang adalah seorang perempuan digdaya dijamannya berasal dari Sempauk, namun jauh kalah dengan kedigdayaan Sudung Mak Pancer. Sedangkan Sumang Manyurut seorang lelaki pemberani dan perkasa berasal dari Siding yang takluk di kayau Santak Mak Batangk asal Segiring.

Tari dayak
Prosesi ritual adat Nyabangk ini terdiri dari : Takubu, Bapasah, Tangga Tonguh, Nyirang ka Pungok, Penampen Paing Tawar dan Nariu.
Takubu

Seluruh tua-tua adat dan warga yang melaksanakan kegiatan upacara adat Nyabangk berkumpul di rumah Amak Sabangk yang kini dijabat Simin, tepat jam 18.30 WIB. Mereka melakukan musyawarah untuk membagi peran mempersiapkan perlengkapan ritual adat untuk di bawa ke Pungok, tujuh ratus meter dari rumah Amak Sabangk.

Jam 20.00 WIB seluruh perlengkapan pun lengkap. Perjalanan menuju Pungok pun dimulai. Tua Simin, Tua Liak, Tua Siung, Tua Juim, Tua Kujin, Tua Siton, Tua Akun dan Tua Arin berjalan perlahan, sebab jalan licin baru saja hujan turun. Selang dua puluh menit, rombongon telah tiba di Pungok. Setibanya di Pungok seluruh tua-tua memohon doa kepada Jebata sambil membawa sesaji untuk mohon izin membesihkan peralatan yang akan digunakan untuk ritual Nyabangk pada tahun ini. Selanjutnya mereka membersihkan sabangk (gendang diameter 80 cm, panjang 4 meter), mengeluarkan : linang, gong, tawak, manduh, bandih. Selanjutnya mereka menggoreng tumpe (kue sejenis cucur) dan melatuk (menggongseng) jagung dan padi.

Kulit gendang direndam selama tiga puluh menit. Sebab, kulit rusa ini akan lembut dan lebih mudah dimasukkan ke sabangk setelah selama setahun mengering tidak dipergunakan jika direndam dengan air lebih dahulu. Setelah Amak Gandangk, Liak yang juga Kepala Dusun ini ditemani Siung, Juim, Kujin, Siton, Aring, Akun dan Simin memasukkan kulit ke Sabangk, maka usailah kegiatan ritual Takubu. Mereka mengunci pintu Pungok dan kembali ke rumah masing-masing untuk istirahat sejenak, sebab besok pagi jam 04.00 upacara Bapasah akan dimulai.

Bapasah
Sebelum fajar tiba, tepat jam 04.00 Amak Sabangk, Amak Gandangk dan enam anggotanya keluar teratur meninggalkan bilik rumah Amak Sabangk berjalan ke Pungok. Temaram lampu “pelita” minyak tanah menerangi perjalanan mereka. Amak Sabangk memimpin, disusul Amak Gandangk dan anggota yang lain. Maksud kedatangan mereka untuk bapasah. Bapasah suatu ritual adat untuk memohon para orang-orang besar yang mereka sebut sebagai Pemagen (panglima perang) untuk datang makan sesaji yang akan dipersembahkan. Tujuh pemagen yang sangat mereka kenal dan berjasa menyelamatkan mereka. Karena itulah Amak Sabangk, Amak Gandangk dan timnya harus tariu (memanggil) : Santak Mak Batangk, Sadani Mak Ngaji, Supai Mak Pile, Sapuk Sekilat, Saparang Mak Baye, Sudukng Mak Pancer dan Samue Nok Nonggoi.

Dini hari itu, sabangk bertalu-talu di tabuh. Seketika itu pula suara “lolongan” anjing di sudut kampung dan jangkrik yang sempat menyeramkan, berlalu dari pendengaran. Sambil menabuh sabangk, Akun mengisap rokok kreteknya sambil menghitung tujuh puluh tujuh pukulan yang harus di tabuh. Selanjutnya, Amak Sabangk berikat kain putih di kepala mengarah ke timur, terbitnya fajar mengucapkan doa memohon pada tujuh pemagen untuk hadir menyantap makan yang telah dihidangkan.

Usai mengucapkan doa, Amak Sabang memukul bandih 14 kali. Maksudnya, sebagai tanda bunyi irama Ngeliluk (irama seni musik khusus tahun baru) boleh dimulai. Sementara itu pada waktu yanga sama, Liak dan Aring memukul linang (satu set alat musik terbuat dari kuningan berupa gong kecil berjumlah 8 buah) tanpa gandangk (gendang kulit rusa berdiameter 25 cm, panjang 60 cm) dan sabangk (gendang kulit rusa berdiameter 50 cm, panjang 4 meter).

Lima menit berjalan, ngeliluk pun usai. Irama ngeliluk diganti dengan irama dindong (irama seni musik khusus untuk penghormatan pemagen). Bedanya dengan ngeliluk, dindong iramanya sedikit lebih cepat dan sabangk boleh ditabuh oleh dua orang bersamaan. Begitu irama dindong usai, ayam mulai turun dari pohon, Pungok dan sekitarnya mulai terang. Dapur warga sekitar perlahan mengepulkan asap, tanda aktivitas pagi di mulai.

Tangga Tonguh
Usai Bapasah selama dua jam dua puluh menit, para tua-tua adat segera kembali ke rumah Amak Sabangk. Mereka terlihat agak tergesa-gesa. Aring keluar lebih dahulu membawa bokor berisi sesaji, disusul Akun, Liak, Simin dan beberapa anggota lainnya. Penyeledikan penulis, mereka harus mengelola waktu dengan cermat dan tepat. Sebab, ritual Tangga Tonguh ini dilakukan pada pagi menjelang siang. Hal ini, erat hubungannya dengan pola hidup Pemagen dan Jebata yang kontras dengan kehidupan manusia.

“Jadi, pada waktu yang tepat mereka bisa hadir di undang. Jika kesiangan atau waktunya tidak tepat, maka akan fatal” (Simin, 2007). Sementara rombongan dalam perjalanan, rumah Amak Sabangk telah dibuka. Mereka duduk sejenak sambil merokok mendiskusikan perlengkapan yang belum lengkap. Sebab, bahan yang dibutuhkan harus lengkap. Jika tidak, maka akan fatal. Berdasarkan pengalaman, jika salah satu terlupakan meskipun kecil maka berdampak bukan saja pada warga sekampung. Tapi, justru salah satu dari tua-tua ini bisa sakit, bahkan menghantar mereka pada kematian. Karenanya, Amak Sabangk selalu melakukan ceklist satu persatu perlengkapan ritual yang dibutuhkan.

Begitu lengkap, ritual tangga tonguh pun digelar tepat jam 06.30. Seluruh tua-tua adat serempak mengucapkan doa. Telunjuk mereka selalu dicelupkan ke mangkok kecil berisi minyak kelapa. Maksudnya, mereka membuat ”jembatan” supaya ketujuh pemagen datang pula ke rumah para tua-tua adat dan anggotanya untuk di beri makan sambil memohon kepada Jebata. Usai mengucap doa, Aring naik ke bale (kotak khusus tempat padi hasil panen tahun lalu) dan meletakan sesaji ke atas meja penyembahan di sudut kanan atas bilik rumah Amak Sabangk.

Berbeda dengan Bapasah, ritual Tangga Tonguh ini memohon kepada Jebata, bukan kepada Pemagen. “Disini kita berhubungan dengan ritual adat ucapan syukur tutup tahun padi yang lalu dan memanjatkan doa untuk memohon berkat berlimpah pada tahun mendatang. Jadi ini khusus ritual adat proses siklus perladangan” (Simin, 2007).

Setengah jam berlalu, dari dapur Tua Aring mengambil seekor ayam putih dan menyembelihnya. Darah ayam ditadah dalam sebuah mangkok. Dua helai bulunya dicabut, hatinya dimasak untuk segera dicampur dengan segenggam nasi putih yang ditadah dalam daun simpur (pohon berdaun lebar, daunnya digunakan untuk membungkus nasi). Selanjutnya bandih dipukul sebanyak 27 kali. Tua Arin dan Simin bergilir turun naik bale membawa sesaji diletakkan diatas meja penyembahan, sambil berdoa kepada Jebata.

“Acara ini diakhiri dengan pembacaan doa ngares bia untuk pemagen, napel nyirih dan cuci tangan pakai tapai tuak beras ketan. Barulah mereka bisa datang untuk makan sesaji yang disiapkan” kata Simin, sambil melihat derajat matahari sebagai petunjuk waktu ke luar rumah. Diluar, telah siang. Jam 09.30 tua-tua adat makan bersama selanjutnya berpacu dengan waktu untuk menggelar ritual Nyirang Ka Pungok.

Nyirang Ka’ Pungok
Jam 12.00, Pungok kembali dibuka. Tua-tua adat menurunkan dua tengkorak manusia. Sebelum diturunkan, ritual adat dan sesaji dipersembahkan kepadanya. Beberapa pelangkang dibuat untuk dipersiapkan memberi sesaji di empat lokasi. Pelangkang utama lebih dahulu dibuat, ditanam persis di timur di luar rumah adat. Pelangkang utama dihiasi dengan daun kelapa muda dan kain serta telur ayam kampung.

Berpacu dengan waktu, Amak Sabangk selanjutnya memukul bandih sebanyak 21 kali. Hal ini sebagai tanda bahwa ritual adat sudah pada tahap Nyirang Ka’ Pungok. Selanjutnya, tua-tua berdoa untuk memberi sesaji tengkorak. Ayam di semblih, darahnya diambil dimasukan dalam mangkok sebagai perlengkapan sesaji. Akun mengambil kepala ayam, selanjutnya diikatkan pada daun kelapa muda persis sejajar dengan dua tengkorak manusia di atas tempayan tua.

Usai mempersembahkan sesaji, linang, bandih, tawak, sabangk pun di tabuh. Ruangan berdebu dan berpasir inipun, kini kelihatan agak bersih. Bahkan, dengan semakin ramainya anak-anak yang datang untuk menonoton turut berkontribusi membersihkan ruangan seiring irama ngeliluk dan dindong yang di bunyikan. Sebuah pemandangan indah bak panggung teater rakyat. Irama ngeliluk dan dindong ini ternyata menghantar tua-tua adat untuk beristirahat selama 180 menit.

Penampen Paing Tawar
Tepat jam 15.00, usai istirahat singkat, tua-tua berkumpul ke Pungok. Mereka mempersiapkan penampen paing tawar, bokor berisi air kundur, minyak kelapa yang disimpan dalam sebatang bambu kecil dan batu yang diikat melilit ditaruh dalam mangkok. Selama dua puluh menit mereka di Pungok, kini kembali turun sambil membawa seekor ayam dan berjalan ke rumah-rumah warga yang menjadi anggota.

Ciri-ciri warga yang menjadi anggota ini mudah ditentukan. Karena setiap sudut bilik rumah terdapat tempat penyembahan. Bahkan, para tua-tua sangat mengenalinya dan bisa membedakannya. Prosesi acara penampen paing tawar ini sangat meriah. Meriah, karena kunjungan ini boleh diikuti oleh anak-anak. Sementara seluruh anggota keluarga yang mau dikunjungi telah siap menerima kedatangan rombongan. Mereka mempersiapkan tuak dan jamuan sederhana terhadap rombongan yang datang. Jika dalam keluarga tersebut ada anggota keluarganya sakit, maka salah satu diantara tua-tua akan melakukan ritual pengobatan. Caranya mengisap bagian yang sakit. Namun, bagi yang sehat, tua-tua adat hanya mengoleskan minyak kelapa pada bagian leher, kepala dan pundak.

Nariu
Usai acara penampen paing tawar, tua-tua kembali ke Pungok. Mereka akan menggelar acara nariu (prosesi menurunkan tengkorak untuk di beri makan dan selanjutnya di kembalikan ke asalnya seperti semula sambil menari dan memanggil dan memohon pada Jebata). Prosesi tariu ini diawali dengan menyembelih ayam, darahnya diambil untuk sesaji. Kepala ayam ditusuk dengan daun kelapa, ditaruh persis di atas sabangk. Tua-tua kembali mempersiapkan perlengkapan untuk ritual nariu. Puluhan penari nariu pun telah berkumpul di Pungok. Para penari ini telah siap dengan asesorisnya, giring-giring (gelang terbuat dari kuningan) di kaki dan kalung terbuat dari taring (gigi) aneka binatang hutan di leher.

Sebelum nariu, para penari harus menyimak nasihat Amak Sabangk dan Tua Aring. Jika terjadi sesuatu pada proses nariu, mereka harus duduk manis dan yang lain segera “menentramkan”. Karena itu, sebelum menari dan nariu, penari wajib mendapat paing tawar (air penawar) dari Amak Sabangk. Mereka harus mengikuti ritual buah ngawah. Maksudnya, agar seluruh penari tidak kesurupan dan acara tidak kacau balau.

Tepat jam 15.30, prosesi nariu pun dimulai. Nariu ini diawali dengan sesaji bapatek dan bapadu. Selanjutnya berturut-turut menyembelih ayam, anjing hitam dan babi. Ketika tua-tua membunuh anjing, tengkorak di atas bilik segera diturunkan. Puluhan penari lelaki, bertelanjang dada dibawah siap menerima lebih kurang 30 tengkorak manusia dari atas. Seorang tua-tua mengulurkan tengkorak tiga kali yang disimpan di tiga keranjang.
Begitu keranjang pertama turun, para penari nariu mengelilingi tengkorak dengan irama lambat. Namun, begitu keranjang kedua dan tiga turun irama tarian berubah. Makin lama, makin cepat dan suasana “menakjubkan”. Sementara itu, disudut timur suara seekor babi menjerit menambah suasana “haru”. Babi dibunuh, darahnya dipercikan ke tengkorak. Tiga keranjang tengkorak lalu diangkat kembali satu per satu kembali ke posisi asalnya, yakni diatas bilik Pungok.

Sabangk ditabuh Tua Akun bertalu-talu, Amak Sabangk mengucapkan doa, petanda tariu dimulai. Penabuh sabangk, pemukul linang, bandih, tawak harus prima, sebab ritual tariu ini butuh waktu sekitar satu jam. Selama satu jam, musik harus kontinyu. Sebab, musik ini sebagai pengiring ritual menurunkan dan menaikkan tengkorak butuh waktu yang cukup. Tidak heran, jika penabuh sabangk dua orang. Sebaliknya pula, penari nariu pun harus cekatan melaksanakan tugasnya, menurunkan dan menaikkan keranjang berisi tengkorak. Selama proses ini, para penari mandi keringat. Usai melaksanakan tugasnya, perlahan mereka terlihat mulai lelah, seiring dengan gelapnya hari di luar Pungok, pertanda hari mulai malam dan mereka pun bergegas akan mengantar sesaji ke tiga wilayah penungkul.

Sebelum kemalaman, Amak Sabangk dan Amak Gandangk membagi jumlah yang hadir menjadi tiga kelompok. Tujuannya agar setiap kelompok membawa sesaji untuk diletakkan di tiga penjuru kampung. Sebagai penukul di Marindu, Jalan Sei Pisak dan Jalan Gunung Temuak. Lokas ini diyakini sebagai penunggu kampung yang senantiasa melindungi dan menjaga warga dari malapetaka yang akan menyerang warga.

Sementara aktivitas tiga kelompok berjalan, Amak Sabangk membawa sesajian ke Benen (penyembahan) sekitar tujuh meter ke arah timur dari Pungok. Di lokasi ini terdapat pohon leban tertua, tempayan dan beberapa asesoris penyembahan dijadikan pamali untuk di sentuh, apalagi ditebang. Dengan dipersembahkannya sesaji di Benen ini, maka ritual-ritual siklus perladangan selanjutnya sah dilakukan warga berlanjut pada hari-hari berikutnya.

Penulis menyaksikan, meski diguyur gerimis prosesi ritual tariu (bagian akhir ini) dipenuhi antusias warga untuk menyaksikannya. Mulai anak-anak hingga orangtua. Hanya pertanyaannya, apakah kehadiran mereka untuk sekadar menonton keunikan adat budaya Bakati’ di tengah badai modernisasi atau sebaliknya justru mendorong semangat untuk tetap melestarikan adat, budaya dan hukum adat sebagai warisan pada generasi Dayak Bakati’ di masa datang?

Teater Rakyat
Jika dipandang dari sudut seni pertunjukan, upacara ritual Nyabank ini erat kaitannya dengan seni pertunjukan, khususnya teater. Sebetulnya unsur semua cabang seni masuk dalam peristiwa ritual ini. Ada seni rupa, tari, musik dan teater. Unsur teaterikal yang menonjol antara lain ketika semua proses dialog antara pemimpin upacara dengan para penari saat upacara nariu. Namun lebih dari itu, unsur teater juga masuk dalam rangkaian setiap upacara dimana terjadi dialog dan monolog dengan sesama petugas upacara dan antara imam yang memimpin upacara dengan para makhluk gaib.

Jika unsur seni ritual ini dilepas atau diambil unsur pertunjukan teaternya bisa diadopsi dan dapat menjadi ide teaterikal yang kemudian diolah menjadi sebuah pertunjukan panggung, barangkali bisa menjadi suatu bentuk teater yang indah. Tentu saja harus dipilah antara ritual dan non ritualnya. Pemisahan itu dapat dilakukan ketika telah mengalami proses transformasi. Agak sulit memang menemukan unsur seni tradisi yang murni hiburan sebab seperti juga yang dikatakan oleh Edi Sedyawati bahwa seni pertunjukan di kalangan masyarakat tradisional mempunyai fungsi antara lain:
1. Pemanggil kekuatan gaib
2. Penyemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan
3. Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat
4. Peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan maupun kesigapannya
5. Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang (Edi Sedyawati, 1980).

Menyimak uraian di atas, jelaslah bahwa sebetulnya kita kaya akan seni terutama seni pertunjukan yang didalamnya ada teater, music dan tari. Sekarang, tinggal bagaimana kita melakukan proses transformasinya dengan baik dan benar agar unsur ritulanya tidak hilang begitu saja.


Sumber Acuan

Edi Petebang, Dayak Sakti, Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah, Pontianak, Institut Dayakologi, cetakan ke 3, 2005.

Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: 1980.

Majalah Kalimantan Review, Juni 2007.

Paulus Florus, et.al., Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak, Institut Dayakologi, cetakan ke 2, 2005

Simin, Amak Sabangk-Sesepuh Dayak Bakati’ di Desa Pisak Kecamatan Tujuhbelas Kabupaten Bengkayang, diwawancarai Mei 2007.

Sais, Wakil Ketua Badan Pemusyawaratan Desa, Desa Pisak, diwawancarai Mei 2007

Posting: John Roberto Panurian, S.Sn-http://sengalangburongcomunity.blogspot.com/

Read Rest Of Entry

Fenomena Komunitas Adat di Kalimantan Barat

Sebelum membahas fenomena komunitas adat lebih lanjut, saya ingin menegaskan bahwa kekuasaanlah yang akhirnya menetukan arah perkembangan sosial manusia. Sejak kapan kekuasaan menjadi simbol eksistensi manusia ? menurut Karl Marx, eksistensi manusia dapat dilihat dari kekayaan materi yang dimilikinya. Semakin kaya seseorang semakin mendapat penghargaan, penghormatan dan ditinggikan derajatnya. Materi inilah yang menyebabkan manusia membangun stratifikasi, antara yang kaya dan miskin. Rene Descartes, filsuf perancis mengatakan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Sampai sekarang, pendapat Rene ini dipakai manusia untuk mengatakan dirinya ada. Deddy Mulayan, merujuk Thomas M Scheidel, menyebutkan bahwa aktivotas komunikasi juga menjadi instrumen untuk menyatakan eksistensi diri, sehingga berlaku pameo “ saya berbicara, maka saya ada”. Bila kita berdiam diri, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun ketika kita berbicara, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita ada.

Penguasaan atas akses dan aset sumber eksistensi ini dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa sumber-sumber yang diperebutkan relatif statis, sementara manusia yang memperebutkannya semakin banyak, tensu saja juga sama dengan kebutuhannya. Hal ini membuat manusia masuk dalam aktivitas kopetisi yang sangat ketat. Barangsiapa yang menguasai aset sumber daya tersbeut, ia akan tampil menjadi ”pemimpin” yang mempunyai kekuasaan mengatur, mengendalikan dan mendistribusi. Cara kerja kekuasaan dalam proses sosial inilah yang kemudian melahirkan praktek hegemoni. Kekuasaan lebih lanjut berarti kemampuan atau kesematan untuk menjalankan dan mengatur interaksi masyarakat. Secara politik, kekuasaan identik dengan sistem pemerintahan negara. Namun, dalam kehidupan konkrit, kekuatan terjelma dalam pelbagai macam lembaga dan kegiatan. Kepala desa mempunyai tangan-tangan yang mengatur jalannya pemerintahan berdasarkan perintah birokrat ”diatasnya”, para pemuka agama mempunyai kekuasaan dalam menggerakkan umat untuk bertindak menurut pola agama, dan para tetua adat mempunyai kekuasaan untuk menggerakkan umatnya untuk bertindak menurut adat dan taat pada hukum adat serta melindungi wilayah adat, sesuai ajaran leluhur. Persaingan dalam memperebutkan pengaruh itulah indikasi cara kerja kekuasaan, karena kekuasaan selalu ingin memperbesar pengaruhnya.

A. Pergulatan identitas; menuju unifikasi etnik
Pasca hancurnya kekuatan pemerintah Orde Baru, komunitas adat di Kalimantan Barat merasakan betapa pentingnya adat dalam mengawal ”proses” kehidupan selanjutnya. Sungguhpun sempat terjatuh dalam aksi kekerasan rasial selama kurang lebih 100 tahun, komunitas adat dengan dukungan para intelektualnya di partai politik dan LSM, mulai menapak hari-harinya dengan penuh keyakinan, bahwa bagaimanapun juga adat tetap menjadi pilihan terbaik ditengah terpuruknya moralitas bangsa diabad modern saat ini. Namun, membangun gerakan ini ternyata tidaklah mudah. Selain kurang solidnya pemimpin mereka, juga telah hancurnya kelembagaan lokal, yang telah menjadi acuan selama ini melalui politik unifikasi hukum atas nama desa.

Secara kasat mata, gerakan kembali ke adat dimulai pada pertengahan tahun 1985. dimana, pada tahun ini, identitas suku-suku kecil sebagai komunitas adat yang bertebaran pada 4 kabupaten di Kalimantan Barat muncul. Dulu, suku-suku kecil ini menamakan dirinya beradarkan nama tempat tinggal atau persekutuan hukum yang dibangun nenek moyang mereka. Namun, ditahun ini pula, identitas itu mulai diangkat kembali. Mereka bertanya-tanya, siapakah kami sebenarnya ? Siapakah suku Dayak Kanayatn itu ? untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan ini, kembali saya membolak-balik berbagai literatur. Saya menemukan sebenarnya tidak banyak literatur yang menunjukan secara detail keberadaan suku Kanayatn di Kalimantan, bahkan dibeberapa hasil penelitian “orang Barat“ tidak ada satupun yang menunjukan dengan tegas “ Kanayatn”. Kata Kanayatn secara jelas terdapat dari tulisan Pastor Donatus Dunselman OFM.Cap tahun 1949 dengan judul “Bijdrage Tot De Kennis Van Detaal En Adat Der Kendajan-Dajaks van West Kalimantan“. Ia melakukan penelitian di Desa Tiang Tanjung Mempawah Hulu yang dekat dengan desa-desa orang Bakati’ ( Jirak, Sebangki, Timpurukng ) dan desa-desa orang Banyadu’ (Pentek, Semade, Parigi). Menarik bahwa dikemudian hari, hasil penelitian Dunselman ini diadobsi secara menyeluruh oleh kalangan elit politik Dayak yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “Kanayatn“ pada tahun 1980-an. Mungkin ini bagian dari kepentingan untuk memperluas basis politik dan kekuasaan ( politik unifikasi) mereka, yang kalau dilacak merupakan politik khas Orde Baru. Para elite Dayak ini menyepakati bahwa orang-Dayak yang tinggal dipedalaman bagian utara dan selatan Kalimantan Barat sebagai Dayak Kanayatn, sebuah identitas baru pada suku ini.

Dalam kacamata sejarah bangsa ini, Stanley Karnow, seperti dikutip Simon Takdir, 2003, membuat peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan melalui Semenanjung Malaya. Mereka memasuki muara sungai Sambas dan Salako (Selakau, menurut ejaan Melayu). Kelompok yang memasuki sungai Sambas kemungkinan besar bermukim dikaki bukti senujuh, dikawasan sungai Sambas Besar. Dikawasan ini dikemudian hari pernah berdiri kerajaan Sambas sekitar tahun 1291 dengan rajanya Ratu Sepudak, seorang yang telah beragama Hindu. Rakyatnya masih mengant agama tradisional. Apakah mereka iini merupakan keturunan dari kelompok yang bermigrasi itu ? untuk menjawab ini, seorang antropologi, Wonojwasito, 1957 menjelaskan bahwa jauh sebelum bangsa Austronesia bermigrasi diseluruh kepulauan Indoensia, kepulauan Indinesia termasuk Kalimantan telah ada penduduknya, yaitu bangsa Weddoide dan bangsa Negrito. Mereka mendiami lkepulauan ini sejarh zaman prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum (Loebis, 1972), kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah lenyap sama sekali di Indonesia (Wojowasito, 1957). Kelompok Asutronesia yang bermukim dikaki bukit Senujuh ini, karena julahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu datang kedaerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayatn atau Rara dengan ragam-ragam bahasa mereka yaitu bakati’, ba nyam, dan ba nyadu’. Para penurut tiga bahasa ini masih mengerti bila mereka berkomunikasi dalam ragam mereka masing-masing. Menurut informan saya, kanayatn itu berada disebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai Salako/Selakau, didaerah Kinane, Subah dan sebagainya atau disebelah utara jalan raya. Barangkali ini sejalan dengan kata sanskerta/kawi yaitu Kanayatn berasal dari kata : Kana + Yana, atau Kana + Yani. Yang berarti Kana : sana, Yana : jalan, yani : sungai ( Prawiroadmojo, 1981 ). Jika benar, apakah secara etimologis nama Kanayatn berasal dari kata tersebut diatas, yaitu suku yang tinggal disebelah sana jalan atau sungai ?
Ditopang oleh kaburnya literatur yang menjelaskan secara detail keberadaan suku Kanayatn saat ini, maka saya mengamati sebuah organisasi yang mengatasnamakan Dayak Kanayatn, dibentuk pada tanggal 23 Maret 1985 yang bernama Dewan Adat Dayak Kanayatn. Walaupun masih terdapat simpang siur disana-sini tentang sejarah pembentukan organisasi ini, saya kemudian mengkaitkannya dengan kepiawaian para tokoh politik orang “Dayak”, pada awal Orde Baru. Mereka telah melihat peluang yang besar untuk menyatukan Dayak melalui satu kekuatan politik di Golkar, sebuah partai pemerintah. Konsekuensinya harus ada ikatan pemersatu, istilah 'Kanayatn' atau 'Kendayan'. Kemudian dimanfaatkan sebagai sarana pemersatu sub-suku Dayak di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Misalnya diadakan Musyawarah Adat Dayak Kanayatn di Anjungan tahun 1985, yang melahirkan Gawai Naik Dango setiap tahun di Kabupaten Pontianak. Para politisi Dayak dari Golkar menggunakan istilah 'Kanayatn atau 'Kendayan' untuk mengumpulkan suara orang Banana'-Ahe dan varian sejenisnya yang mayoritas di Kabupaten Pontianak kala itu.

Untuk membuktikannya, ditemukan sebuah dokumen penting yang menyebutkan Kanayatn mulai “dipakai “ pada tanggal 23-25 Maret 1985, melalui Musyawarah Adat se-Kabupaten Pontianak di Anjungan. Pada akhir musyawarah, peserta sepekat untuk membentuk Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak. Selama musyawarah, banyak peserta yang pro dan kontra atas istilah Dayak Kanayatn, untuk menyebut diri mereka. Seorang bekas peserta mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak setuju ada pengelompokan suku Dayak. Menurutnya, Dayak akan kuat bila identitasnya tetap dipertahankan. Namun argumen itu tidak sama sekali muncul dimusyawarah, karena dilihatnya semua peserta orang-orang Golkar, yang ia kenal. Ia sendiri berterus-terang simpatisan sebuah partai non Golkar, yakni PDI. Pada akhir musyawarah ini, peserta memilih F. Bahaudin Kay, sebagai ketua umum DADK Kab. Pontianak. Ia adalah seorang Timanggong dari Binua Temila Ilir I –Pahauman. Inilah organisasi dayak pertama pada era Orde Baru dan secara resmi Kanayatn mulai diperkenalkan sebagai identitas baru bagi Dayak yang ada di Kabupaten Pontianak dengan motto “ Adil Ka Talino, Ba Curamin Ka saruga Ba Sengat Ka Jubata”. Lambang organisasi ini adalah pemipis dan gantang. Dengan prestasinya ini, F. Bahaudin Kay, yang juga wakil bendahara DPD Golkar Kab. Pontianak periDayake 1983-1988 pada PEMILU tahun 1992, terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Pontianak untuk periDayake 1992-1997 dari GOLKAR. Setelah musyawarah adat itu, istilah Dayak Kanayatn kemudian dipopulerkan berbagai kalangan melalui tulisan dimedia massa, buku-buku serta program-program radio. Misalnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Buletin Mimbar Untan; sejak tanggal 1 April 1992, ada siaran radio berbahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak, yang adalah bahasa Banana' yang menyebar di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Peran siaran radio ini sangat besar dalam mensosialisasikan identitas Kanayatn untuk orang-orang yang berbahasa Banana'-Ahe, dan varian sejenisnya. Istilah ini menjadi berurat berakar pada Dayak di Kabupaten Pontianak (sekarang Pontianak dan Landak) dan Sambas (sekarang Sambas dan Bengkayang). Demikian juga berbagai tulisan yang dimuat dalam Majalah Kalimantan Review dan buku-buku terbitan Institut Dayakologi. Tanpa sadar, peran banyak pihak telah mempopulerkan identitas baru ini yang berdampak sangat besar pada perubahan-perubahan berikutnya.

Sejak itu, tidak pernah lagi terdengar perdebatan istilah ini secara signifikan. Baru, pada akhir tahun 1999, istilah ini muncul kembali. Adalah Institute Dayakologi, sebuah LSM Dayak yang kembali membuka perdebatan seputar istilah Kanayatn. Dimuali dengan musyawarah adat di wilayah Binua Temila, Maniamas Miden SoDayak, bersama ratusan penduduk dibinua ini pada akhir tahun 2001 mendeklarasikan komunitasnya sebagai komunitas Dayak Bukit. Perdebatan istilah Kanayatn mulai menghangat kembali ketika di seminar Naik Dango XVIII se-Kabupaten Landak dan Kabupaten Pontianak di Menjalin, seorang antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, membahas seputar Dayak Salako. Ia secara rinci menjelaskan kepada peserta, betapa Dayak Salako adalah induk dari berbagai suku-suku yang berdialek banana, ahe, bajare. Menurutnya, suku Kanayatn sebenarnya adalah orang-orang yang berbahasa non ba ahe dan non bajare, yakni orang-orang yang berbahasa nganayatn ( ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli ) dan itu berarti Kanayatn adalah orang-orang Bakati, Banyadu’, Bainyam dan isoleknya yang lain. Simon membeberkan sejumlah fakta bahwa di Kabupaten Bengkayang, ditemukan beberapa subsuku Dayak Bakati', yang secara kolektif menyebut dirinya Dayak Kanayatn atau Kanayat. Dalam kenyataannya, istilah 'Kanayatn' populer di kalangan orang yang berbahasa Banana' dan varian sejenisnya, terutama yang bermukim di aliran Sungai Mampawah dan anak-anak sungainya. Oleh aktivis Dayak, pergulatan mengenai istilah kanayatn ini mulai diangkat kepermukaan dalam berbagai diskusi, atau forum seminar ( lihat Bulletin Simpado, Edisi I Jan-Maret 2004, yang ditulis Kristianus Atok ).

B. Perdebatan Yang tak Henti di Sekitar Pelaksanaan Hukum Adat
Akhir-akhir ini kita sering membaca di koran bahwa suatu kasus/tindak pidana diselesaikan dengan "hukum adat". Bahkan kadang sudah menjurus dikomersilkan, sehingga cukup memberatkan bagi pelanggar. Tidak jarang untuk memberlakukan hukum adat menggunakan/mengarakan kekuatan massa. Padahal sejak berlaku hokum positif yang mengejawantah dalam KUHP bagi seluruh rakyat Indonesia pada tahun 1848 (ulangi tahun 1848 Kodifikasi Hukum Positif Indonesia) maka Hukum Adat diseluruh Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi, namun tetap dihormati. Arti dihormati disini adalah bahwa bila ada suatu suku bangsa yang ingin menerapkan Hukum Adat hanya berlaku untuk suku bangsa itu sendiri secara intern, tidak berlaku untuk suku bangsa lainnya. Suku bangsa yang diberlakukan hokum adat berarti si pelanggar tersebut mengandung 2 (dua) resiko: 1. Menerima penjatuhan Hukum Adat berdasarkan adat setempat. 2. Menerima penjatuhan hukum positif/Pidana (karena hukum adat tidak dihapuskan hukum pidana, hanya dapat digunakan untuk bahan pertimbangan yang meringankan). Beberapa pihak menyatakan keberatannya dengan pemberlakukan hukum adat ini. Menurut mereka, seharusnya hukum adat cukup berlaku dikomunitas adat, dan bukan ditempat lain.
Bagi suku bangsa yang memberlakukan hukum adat, misalnya suku Dayak di Kalimantan Barat di Daerah Kabupaten Landak, maka hanya berlaku untuk daerah intern saja, bahkan jika suku Dayak Kabupaten Sintang/Kapuas Hukum melanggar suatu kasus di daerah Landak, tidak bisa diterapkan hukum adat. Untuk menjembatani ini, maka tetap Hukum Positif (KHUP), karena penerapan Hukum Adat suatu daerah kemungkinan tidak sama dengan daerah tempat terjadinya pelanggaran/kasus tersebut. Demikian juga pelaksanaan Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Positif (KUHP), misalnya melakukan penyenderaan/penyitaan .

Penerapan hukum adat, juga mulai dipertanyakan warga berbagai acara pertemuan masyarakat. “Saya hanya ingin mempertanyakan, batasan wilayah mana hukum adat itu berlaku, karena sekarang banyak orang mengatasnamakan forum, atau pemuka adat,bahwa sesuatu telah melanggar hukum adat," tanya warga . Lebih lanjut dikatakanya, tak adanya batasan yang jelas dilaksanakanya hukum adat itu, dapat menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu juga dapat mendorong konflik dalam kemajemukan kehidupan warga. Memang sampai saat sekarang masih belum ada pembakuan hukum adat secara universal. Dalam salah satu acara pelantikan pengurus adat, seorang Ketua Dewan Pemangku Adat MABM Ketapang, menyerahkan buku "Adat Istiadat dan Hukum Adat Melayu Kayung" kepada pengurus ranting MABM Sandai Kanan. Buku yang diterbitkan MABM Kabupaten Ketapang itu menjelaskan jati diri Melayu serta hukum adat Melayu Kayung. Yang disebut puak Melayu itu adalah orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan menggunakan adat istiadat Melayu. Puak Melayu itu adalah non genealogis,". Menurutnya, hukum adat Melayu merujuk pada syariat Islam. Sebagai rakyat Indonesia, maka seharusnya kita tunduk pada hukum positif . Jadi kalau etnis lain boleh melaksanakan hukum adatnya kepada publik di luar wilayah adatnya. Dardi menerangkan sebagai orang Melayu berharap pemerintah RI mengakui hukum syariat Islam. Ini juga sudah tertuang dalam piagam Jakarta. Dia juga mengingatkan MABM ranting Sandai Kanan agar jangan melaksanakan hukum adat di luar syariat Islam. Dicontohkannya seperti denda atau membayar adat sebagai ganti hukuman terhadap pelanggar tindak kriminal. "Kalau jelas pelanggaran kriminal seperti perzinahan, hendaklah diserahkan kepada pihak penegak hukum, bukan dihukum adat," tegasnya . Penegasan itu, ketika dilakukannya pembentukan pengurus ranting Sandai Kanan pada 25 Maret 2005.

Senada dengan tokoh ”Melayu” diatas, pelanggaran hukum terutama tindakan kriminal, juga seharusnya tetap dibawa hukum positif dan jangan dilarikan ke hukum adat. Hukum positif harus lebih ditegakkan, ungkap Kapolres Sintang melalui Kapolsek Nanga Pinoh IPTU M Surbakti . Menurutnya, permasalahan ini perlu perhatian dari semua kalangan serta warga dan juga tokoh adat, karena tindakan yang melanggar hukum bahkan sudah mengarah kepada tindakan kriminal memang harus dibawa ke hukum positif, karena di dalamnya sudah ada mengaturnya serta undang-undangnya. Jadi pada intinya, apabila ada kasus yang menyangkut masalah kriminal dan sejenisnya, jangan di larikan ke hukum adat. Permasalahan yang sering terjadi, ada masalah yang terkadang di selesaikan dengan acara adat, meski tindakan itu memang kriminal. Jadi masalah ini ke depannya perlu menjadi perhatian serta untuk dipahami oleh semua elemen yang ada. Kemudian di sisi lain Sino S Sos, pemerhati pembangunan Melawi menambahkan bahwa apa yang dikatakan olek Kapolsek Nanga Pinoh perlu dukungan dan perhatian masyarakat, karena hukum positif merupakan barometer penegakan hukum. "Jangan masalah pencurian dan sebagainya lalu diselesaikan dengan cara hukum adat lalu selesai," ujarnya. Disisi lain ada juga tindakan kekerasan terhadap wanita, terkadang diselesaikan dengan cara adat, padahal tindakan yang dilakukan itu cukup berat, karena menyangkut kelangsungan hidup si korban. Bahkan Kapolsek minta kepada warga jangan takut serta engan melaporkan tindakan kekerasan terhadap wanita, sebab dibiarkan maka pelaku akan tidak jera serta merajalela. Namun, seorang pejabat pemerintah mengatakan bahwa jangan salahkan hukum adat. Menurutnya, hukum adat yang berlaku adalah merupakan warisan leluhur yang memang harus dilestarikan dan silaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat. Tetapi dibalik itu, ia juga mengingatkan agar masalah adat ini benar-benar diperhatikan dengan baik. Mengingat sekarang ini, Pemerintah sedang giat-giatnya menarik para investor untuk dapat menanamkan modalnya sehingga diharapkan Adat tersebut tidak menghambat dan membuat investor merasa takut datang .

Perdebatan diatas kemudian semakin meruncing dengan suara sumbang yang hadir di Harian Pontianak Post hari Jum'at (5/3/2004) tentang "Tegakkan Hukum Positif, Tolak Hukum Adat" yang dikeluarkan oleh Ir. Ikdar Salim dan Zulkarnaen Bujang selaku tokoh masyarakat Melayu dan sebagai Ketua Forum dan Ketua Tim Sebelas FKPM Singkawang. Pernyataan ini kemudian menimbulkan rekasi keras dari kalangan Dayak. Seorang pemuda Dayak, yang juga duduk sebagai ketua III dalam kepengurusan Kelembagaan Dewan Adat Dayak Kota Singkawang, sangat tidak sependapat dengan pernyataan kedua orang ”melayu” yang berani-beraninya ngomong lancang terhadap Dewan Adat Dayak, sebagai penyelesaian kasus Kn . Tokoh ini meminta keduanya untuk jangan mencampuri dan adat budaya orang lain dan harus meminta maaf kepada seluruh masyarakat dan suku Dayak yang ada di kalimantan (Borneo) dan khususnya masyarakat Dayak Kota Singkawang. Sebab menurutnya, Adat dan kelembagaan Dayak lebih dulu lahir dari Forum yang mereka pimpin.

Apa yang melatarbelakangi ”perang” sikap atas pemberlakukan hukum adat diatas ? Mengenai fenomena Hukum Adat sekarang ini diterapkan pada masyarakat kota (misalnya: Singkawang dan Pontianak), saya menyatakan bahwa hal itu adalah "Kebablasan". Saya berani menyatakan hal itu sebagai suatu kebablasan, karena penerapan sanksi adat tersebut sudah menyimpang dari hukum adat yang sebenarnya. Sanki Hukum Adat hanya dapat dijalankan pada lingkungan masyarakat adat yang secara "de facto" kehidupan warganya masih berpegang pada Hukum Adat. Jadi, hukum adat berlaku mutlak di kampung-kampung pedalaman Kalimantan Barat karena realitas sosial masyarakatnya yang secara de facto masih berpegang pada adat istiadat tersebut. Sanski hukum adat itu berlaku bagi siapa saja yang melanggar, termasuk warga dari suku/daerah lain yang melakukan perbuatan "sumbang" di wilayah Hukum Adat. Penulis surat pembaca tadi keliru jika mengatakan hukum adat hanya berlaku intern bagi anggota suku Dayak saja. Jadi yang penting adalah "locus delicti". Kota, menurut saya bukan wilayah Hukum Adat, khususnya yang menyangkut aspek pidana. Penerapan sanksi hukum adat di perkotaan juga saya anggap sudah kebablasan karena terkesan sudah dikomersialisasikan. Tujuan sanksi hukum adat yang asli di kampung-kampung adalah untuk mengembalikan keseimbangan alam yang terganggu akibat terjadinya perbuatan "sumbang" yang dilakukan oleh pelaku. Saknsi tersebut lebih bersifat magis-religius sesuai dengan kepercayaan masyarakat adat. Sedangkan sanksi adat yang dijatuhkan oleh orang-orang Dewan Adat di kota bisa mencapai jutaan rupiah, yang sepertinya dibuat-buat, terlalu di "dramatisir". Sebagai orang Dayak asli, saya malah sedih melihat Hukum Adat Dayak dipermainkan oleh oknum-oknum yang mengaku "Pengurus Adat" di perkotaan! Sebagai orang Dayak, saya sendiri tidak tahu bagaimana mekanisme penunjukan Dewan adat di kota-kota. Yang jelas mereka tidak dipilih langsung oleh warga masyarakat adat Dayak. Dan saya tahu, bahwa di kota Singkawang dan Pontianak, realitas sosial kehidupan masyarakatnya pasti secara "de facto" tidak lagi berpegang pada Hukum Adat, khususnya yang menyangkut tindak pidana. Sanksi hukum adat dapat saja dijatuhkan pada si pelaku sebagai hukuman tambahan atas perintah Hakim, bukan oleh Dewan Adat yang sebetulnya bukan pengurus adat asli menurut Hukum Adat Dayak. Dewan adat di kota menurut pendapat saya lebih sebagai "organisasi sosial" untuk mengembangkan nilai-nilai budaya Dayak serta melakukan advokasi terhadap hak-hak masyarakat adat di tengah-tengah modernisasi saat ini. Dewan Adat biasanya diisi oleh kaum intelektual Dayak di kota yang mungkin tidak dikenal oleh masyarakat adat Dayak di kampung-kampung!!!
Bagaimana realitas di Komunitas Adat ?

Saat ini, paling tidak pada seluruh tumpuk (kampong,red) terjadi dualisme penerapan hukum, yakni hukum adat dan hukum positif. Dualisme kemudian menimbulkan tarik menarik antara dua kepentingan hukum yang jelas-jelas berbeda. Setiap peristiwa hukum yang terjadi, selalu membuat dua norma ini saling berbenturan. Akibatnya ketidakpastian hukum dan keadilan dialami masyarakat adat, atau orang yang terkena sanksi. Namun pada dasarnya, dua aturan yang dibuat itu bertujuan baik. hukum adat untuk mengatur ketertiban dalam masyarakat adat, maupun pendatang yang hidup berdampingan dengan mereka. Namun pelaksanaannya kadang-kadang disalahartikan dan cenderung mementingkan kelompok atau kepentingan pribadi. Ini seringkali dimanfaatkan sebagian orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan sendiri. Jika hukum adat disalahgunakan, maka akan terjadi kepincangan dan ketidakadilan. Namun jika dilaksanakan dengan baik, maka hukum adat ini dapat melindungi, serta memberi rasa aman dan tentram, baik bagi masyarakat adat maupun masyarakat diluarnya. Beberapa aktivis masyarakat adat mengatakan harusnya antara hukum positif dan hukum adat dapat berlaku seimbang. Sebab keseimbangan keduanya dapat lebih efektif mencegah (preventif) dan mengatasi atau menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat. Bukan sebaliknya yang malah justru menyebabkan timbulnya konflik interest, serta menimbulkan dualisme dalam hukum.

Akankah hukum adat masuk praktik peradilan negara ? pertanyaan ini menarik untuk dijawab, bahwa keberadaan dan ekstensi peradilan adat di masyarakat telah lama di akui. Namun dalam praktiknya, hukum adat justru tidak terkandung dalam sistem peradilan atau hukum formal. Sehingga terkadang masih banyak masyarakat kurang memahami. Jadi, tidaklah mengherankan masih terdapat pro dan kontra terhadap penyelesaian hukum yang menggunakan hukum adat. Pertanyaannya, "akankah hukum adat dapat dimasukkan ke dalam praktik peradilan formal? Persoalannya menurut saya adalah bagaimana keberadaan hukum adat dapat diakui secara formal oleh lembaga hukum di negara ini. Artinya, adanya pengakuan dan penghormatan yang tegas oleh pemerintah daerah terhadap eksistensi hukum adat dan peradilan adat. Di sisi lain, adanya kemauan politik (sikap) pemerintah dalam menempatkan peradilan adat dalam sistem hukum nasional, di samping berbagi pengalaman dan kendala fungsionaris adat dalam upaya menempatkan peradilan adat dalam sistem dan praktik peradilan formal sehingga dapat diketahui, dipahami dan adanya kemauan baik dari Pemerintah untuk memperbaharui praktik dan sistem hukum nasional dalam konteks otonomi daerah. Dan untuk mengatur serta mengelola kehidupan sosial dan sumber daya alam, sudah ada sistem hukum adat. Sehingga bila terjadi pelanggaran, maka yang menyelesaikan dilakukan melalui peradilan adat yang di sebut pekara adat. Namun dalam praktiknya, tambah dia, penyelesaian dan pemutusan perkara adat oleh peradilan adat cenderung dan kurang di hormati keberadaannya (eksistensi) terutama oleh lembaga dan sistem hukum negara. Bahkan peradilan adat belum ditempatkan dalam sistem dan praktik hukum formal. Pemerintah dalam praktik otonomi daerah tidak cukup melakukan perubahan terhadap sistem dan struktur pemerintahan, karenanya masyarakat adat mengharapkan perubahan dan pembaharuan hukum nasional baik sistem maupun dalam praktik, sehingga peradilan adat dalam sistem dan praktik menjadi bagian atau sistem hukum negara, dengan begitu krisis hukum dapat di atasi.

Premanisme Adat, Dampak Konflik Antar Komunitas Etnik ?
Salah satu gejala sosial yang menarik saat ini di Kalimantan Barat adalah munculnya istilah ”premanisme adat”. Hampir disetiap kampung, desa dan kota selalu dapat ditemui pengalaman komunitas yang ”telah” diperdayai oleh preman adat ini. Sebagaimana definisi dari Yacobus (Yacobus;2003), preman adalah sebuah organisasi yang jelas ada, meski tidak berbadan hukum, punya anggota tetap dan jaringan, sering menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, melakukan tindakan sopoi/malak dengan dalih jasa keamanan, wilayah kekuasaan jelas. Seorang informan saya, mengatakan bahwa premanisme di kalangan masyarakat adat (dayak, red), baru muncul sekitar tahun 1998-2001. Sebelum-sebelumnya tidak ada yang namanya preman Dayak, bahkan untuk berbahasa Dayak saja di Pasar, di Kota Pontianak (misalnya) Terminal, orang Dayak malu. Pokoknya orang Dayak dianggap yang paling bodoh, kolot dan miskin. Kalau Dayak tidak terlibat kerusuhan 1997, kemudian tidak terjadi reformasi, sulit bagi Dayak untuk dapat perhatian pemerintah. Mencari perhatian pemerintah agar suara-suara kita di dengar, tuntutan kita di kabulkan, salah satu nya harus dengan cara keras. Pemerintah yang secara tidak langsung mengajari masyarakat untuk bertindak keras, gaya preman.

Keberadaan preman adat belakangan ini meresahkan warga masyarakat. Bahkan banyak tokoh masyarakat yang secara tegas menolak keberadaan para preman-preman adat ini. Baik dari jenis preman adat kelas sendal jepit hingga preman adat kelas berdasi. Yang dikatakan sebagai preman adat sendal jepit menurut Lomon, adalah oknum-oknum tak bertanggung jawab yang mengaku-ngaku sebagai pengurus adat tertentu atau mengaku sebagai temenggung, yang kemudian mengenakan sanksi adat kepada seseorang akibat suatu perkara tertentu sedangkan yang disebut dengan preman adat berdasi adalah orang-orang yang mengaku sebagai tokoh masyarakat, orang-orang berpangkat atau memiliki jabatan dan kedudukan tertentu yang kemudian memanfaatkan adat bagi kepentingannya sendiri atau kelompok tertentu. Selain itu, mereka juga tidak setuju dengan adanya adat yang dikomersilkan. Karena dalam keadaan tertentu yang tidak menguntungkan, seseorang bisa mengkomersilkan hukum adat dengan berbagai alasan yang terkadang tidak masuk akal. Hal itu perlu diwaspadai dan perlu dipahami benar keberadaan hukum adat ini, agar jangan sampai citra hukum adat itu sendiri ternodai. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, jangan sampai citra hukum adat yang baik jadi rusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sungguh disayangkan jika warisan nenek moyang ini jadi rusak citranya oleh penerusnya sendiri.

Seorang informan saya mengatakan, tidak sembarang menjatuhkan sanksi adat kepada sesorang. Untuk mengenakan sanksi hukum adat terhadap seseorang telah diatur ketentuannya dan mesti dilaksanakan dengan benar untuk menjaga kemurnian hukum adat ini. Bahkan jika ada oknum tertentu yang memanfaatkan hukum adat untuk kepentingan pribadi, maka bagi yang bersangkutan bisa dikenakan hukum adat yang lebih berat lagi. Untuk itu masyarakat diharapkan untuk waspada terhadap kedua jenis preman ini, baik preman adat berdasi maupun preman adat sendal jepit. Saat ini keberadaan kedua jenis preman adat tersebut mulai marak. Dalam pemberlakuan hukum adat pada masyarakat adat Dayak dikenal adanya batas wilayah serta teritori, yang sekaligus merupakan kompetensi berlakunya hukum adat dan adat-istiadat. Namun dalam praktiknya di lapangan, ternyata kompetensi ini terkadang mengalami pergeseran atau penyimpangan. Penyimpangan terjadi, karena adanya penyalahgunaan wewenang oleh orang-orang yang mengaku memiliki kewenangan sebagai fungsionaris adat. Bahkan penyimpangan itu diakui oleh empat Temenggung dari sub etnik Dayak Pompakngh, Kodatnh, Panu dan Hibun . Hasil riset ini menyimpulkan bahwa terjadinya pergeseran-pergeseran tersebut dikarenakan berbagai hal antara lain komersialisasi hukum adat, premanisme adat serta intimidasi melalui justifikasi hukum adat dan lain sebagainya. Ini berdampak dengan berkurangnya kewibawaan fungsi dan tujuan diberlakukannya hukum adat. Kondisi ini tentunya menimbulkan stereotif dan persepsi kurang baik terhadap eksistensi hukum adat. Untuk menanggulangi itu, tentunya diperlukan tindakan tegas dari para fungsionaris adat terhadap orang-orang yang menyalahgunakan hukum adat. Selain itu juga diperlukan sesegera mungkin kodifikasi, dalam upaya pencatatan dan penyeragaman adat istiadat dan hukum adat. Hal ini tentunya dilakukan untuk menghindari terjadinya dampak negatif dari pemberlakuan hukum adat di masyarakat. Sementara mengenai oknum yang tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi adat, namun tetap melanggarnya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran adat.

Menurut para tokoh adat ’asli”, polisi harus berani menangkap preman adat. Bagaimanapun juga, segala bentuk premanisme adat telah menimbulkan kekhawatiran di masyarakat dan merendahkan nilai luhur adat itu sendiri . Thambun melanjutkan, hukum adat berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Hukum adat dapat menjamin kerukunan dan ketentraman di suatu wilayah dan dapat mengatur prilaku dan tata krama yang sopan dalam pergaulan. Menurutnya, hukum adat merupakan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta diakui hukum nasional. Pelaksanaannya sering ternodai oleh oknum yang disebut preman sehingga merusak tatanan hukum adat. Merupakan sebuah tantangan bagi masyarakat adat yakni bagi mereka yang benar-benar menjalankan adat. Perbuatan yang dilakukan preman adat bahkan terkadang hukum kebiasaan itu menjadi komersial merupakan pelanggaran pada aturan adat. Karena apa yang dilakukan oknum adat itu bukan merupakan ciri-ciri hukum adat dan bahkan merusaknya. Hanya masih banyak masyarakat yang kena sanksi adat tidak memperkarakan masalah ini. Adanya laporan preman itu bisa ditindak secara adat maupun hukum positif. Seorang timanggong ”asli”, Djumin, dari binua Kaca’, mengatakan sejauh ini jumlah preman adat masih tergolong kecil. Namun di sisi lain, lantaran hal buruk yang terkuak ke permukaan, menjadikannya cepat diketahui. Sebab masyarakat adat tidak mengenal adanya preman. Kalau pun ada dari warga masyarakat lain yang terkena sanksi adat, diperbolehkan bertanya apakah fungsionaris adat atau bukan. Bahkan bisa menolak seandainya yang menjatuhkan adat itu bukanlah fungsionaris adat. Saya menilai ada benarnya juga, preman adat itu timbul karena ikut-ikutan. Mereka meniru buruknya peradilan umum atau lebih dikenal mafia peradilan. Ditegaskannya, hukum adat tetap menjaga kerukunan seperti kata pepatah kalau memukul ular, pemukulnya jangan patah, ular tidak mati dan tak berbekas ke tanah.

Pada saat kongres PAKAT , juga sempat dibahas tentang pembekuan dan pembukaan hukum adat. Mengenai hukum pati nyawa sangat hangat dibicarakan oleh para peserta yang mengikuti kogres tersebut. Namun dari semua itu ada beberapa poin yang perlu dibekukan dan pembukuan di dalam hukum adat. Maka mengenai hukum yang sudah ada di dalam hukup positif sehingga hal itu tidak perlu lagi dimasukan di dalam hukum adat. Sehingga diperlukan kedewasaan kita untuk memahami hukum positif yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehar-harinya. Selain itu diperlukan mental dan perilaku dari masyarakat adat tidak dirubah maka hukum adat tidak berarti apa-apa. Sekali lagi dalam pelaksanaanya jangan sampai terjadi timbang tindih antara hukup positif dan hukum adat.

Menurut seorang informan saya, seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya, penerapan hukum adat mulai bergeser. Hal itu karena sering disalah artikan oleh segelintir orang, sehingga tak jarang penerapannya menjadi melenceng dari ketentuan. Bahkan tak jarang kita dengar bahwa hukum adat dikomersilkan oleh oknum tertentu untuk mencari keuntungan akibatnya setiap keputusan adat dalam menangani permasalahan yang timbul di masyarakat cenderung merugikan orang yang terkena sanksi adat. yang sangat menyedihkan lagi menurut Lukas, dalam penerapan hukum adat ada yang memutuskan perkara kapasitasnya bukan sebagai temenggung. Petugas secara resmi diakui masyarakat, tetapi orang yang mengaku-ngaku sebagai ketua adat bekerja sama dengan beberapa orang (kelompok) merekayasa keputusan adat. Akibatnya, memberikan sanksi menuntut ganti rugi nilai nominal sejumlah uang yang sangat besar. Peristiwa itu sering terjadi dan menimpa warga lain di luar wilayah hukum adat ungkap seorang informan lain. Padahal ditegaskannya, hukum adat adalah merupakan seperangkat peratuaran untuk mengatur hubungan antarmanusia dalam wilayah masyarakat adat. Hakum adat ada dan diterapkan sejak peradaban manusia itu dibentuk.

Salah seorang tokoh adat, yang duduk dikepengurusan Dewan Adat Dayak mengatakan kepada saya bagaimana mereka membentuk Dewan Adat Dayak yang menurutnya sebagai bagian dari menegakan hukum adat secara konsekuen. Karena, kata dia, sekarang banyak muncul preman-preman adat yang sebenarnya tidak diakui sebagai temenggung, atau pengurus DAD. Mengaku sebagai sesepuh adat dan berani melakukan putusan adat terhadap suatu perkara, dengan menjatuhkan sanksi adat kepada seseorang. Yang dianggap melakukan pelanggaran baik itu warga masyarakat adat setemapat maupun warga lain dengan menuntut ganti rugi sejumlah uang. Yang telah ditetapkan kepada setiap pelaku tindak pelanggaran adat setempat. Hal itu menurut keterangan Lukas, biasanya terjadi pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban menderita atau mengakibatkan korban jiwa. "Namun kriteria sanksi hukumnya disalahtafsirkan sesuai kepentingan kelompok tertentu," katanya. Oleh karena itu, masalah adat harus dikembalikan kepada pihak berwenang yang diakui sebagai sesepuh adat, temenggung, pengurus dewan adat sebagai pihak yang diakui dalam upaya menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi. Sebab, dalan adat istiadat suku Dayak, sebenarnya dalam menentukan ganti rugi tidak berbentuk denda sejumlah uang, apalagi menyebutkan nilainya. Apabila ada keputusan adat yang meminta ganti rugi jutaan rupiah, itu omong kosong tegasnya.

Kehilangan Pegangan Hidup
Agaknya Charles James Brooke, dalam bukunya The White Rajah of Sarawak, yang terbit tahun 1915 telah mengingatkan kita semua. “ I beg you to listen to what I have to say, and that you will recollect my words… Has it ever occurred to you that after my time out here others may appear with soft and smiling continuances, to deprive you of what is solemnly you right – that is, the very land on which you live, the source of your income, the food even of your mouth ???...you will lose your birthright, which will be taken from you by strangers and speculators who will, in their turn, become masters and owners whilst you yourselves, you people of the soil, will be thrown aside and become nothing but coolies and outcasts of the island. “ (Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik…. Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak disini lag, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu – yakni tanah dimana kamu tinggal, sumber penghasilanmu, dan bahkan makanan yang ada di mulutmu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini).
Dari pernyataan Brooek diatas, terlihat jelas pengaruh negara, yang diwakili oleh Desa dan Agama, dalam banyak kasus yang telah menempatkan adat sebagai pihak yang paling terpinggirkan. Dalam praktek sehari-hari, kalangan adat seringkali tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik tingkat komunitas. Agaknya, hal ini dapat dipahami bahwa, kelompok adat hanya diisi oleh orang-orang yang ”tingkat pendidikannya” rendah sekali, bahkan dibanyak kampung, para tokoh adat ini tidka pernah mengenyam pendidikan formal. Menurut seorang informan saya, alasan ini sangat realistis, karena tidka mungkin tokoh adat yang tak berpendidikan akan mampu memecahkan problem pemerintahan dan kemasyarakatan dewasa ini. ”masa mereka telah lewat, dan romantisme masa lallu saatnya ditinggalkan mengingat masa sekarang berbeda dengan masa kini” ujar seorang informan. Pernyataan ini mungkin dapat mewakili, ketertindasan kelompok adat dalam mengembangkan desanya berperspektif adat, walaupun sesungguhnya masih dapat diperdebatkan. Seorang informan dari kelompok adat mengatakan: ”saya heran, ketika mereka itu membicarakan proyek yang ada dananya dari pemerintah, kami tidak pernah dilibatkan, akan tetapi apabila proyek itu bermasalah, yang menyebabkan keretakan dimasyarakat, baru kami dilibatkan dalam menyelesaikan maslaah itu secara adat”
Kenyataan diatas sungguh terjadi, bahkan seorang informan lain dengan sikap menggerutu mengatakan ” kami ini hanya pemadam kebakaran”, bila suasana enak kami ditinggal tetapi bila suasana panas, kami dihormati. Dan aneh bahwa, anggota komunitas adat, tidak juga menampakkan diri sebagai pihak yang kontra dengan ”kebijakan” itu, bahkan disisi lain, secara sembunyi mereka melakukan upaya untuk ”terlibat” dalam arena pertempuran untuk tujuan pribadi. Agaknya, selain ditopang kebijakan pemerintah sebagaimana tersebut diatas, jelas bahwa adat sudah mulai ditinggalkan, bahkan oleh komunitasnya sendiri.

Pasca pemberlakukan pemerintahan desa, komunitas adat mulai merasakan kehilangan kedaulatannya. Dengan kedudukan yang sangat strategis karena menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat hingga mengayomi pelestarian adat istiadat dan hukum adatpun menjadi tugas kepala desa. Dengan peran sebesar ini, maka kepala desa menjadi penguasa tunggal dengan kekuasaan tidak terbagi. Namun ironis, bahwa kepala desa hanya bertanggung jawab pada pejabat yang mengangkatnya ( Bupati ) melalui camat dan tidak kepada rakyat desa yang memilihnya. Bahkan kepada Badan Perwakilan Desa, kepala desa hanya memberi keterangan pertanggungjawabannya itu jika dianggap perlu dengan permintaan secara tertulis disertai alasan dan pertimbangannya. Krisis kepemimpinan tradisional sangat terasa yang mencapai puncak pada ketersisihan pengurus adat terhadap akses ekonomi, politik dan sumber daya alam. UU No 5 tahun 1979 kenyataannya telah mengingkari keberadaan pimpinan lembaga adat dengan hanya berfungsi sebatas pelaksanaan upacara-upacara.
Di Kabupaten Landak, hingga saat ini selain menjalankan fungsi eksekutif, dalam prakteknya kepala desa juga menjalankan fungsi legislatif yakni menjadi ketua LMD ex offisio dan menetapkan keputusan desa tanpa meminta terlebih dahulu persetujuan Badan Perwakilan Desa. Praktek ini dijustifikasi oleh Kepala Desa karena “ keterlambatan “ pengaturan mengenai desa di Kabupaten Landak , dan untuk menjalankan pemerintahan desa tentu saja Kepala Desa masih juga menjalankan praktek-praktek yang bertentangan dengan kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku pada komunitas lokal. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengayom adapt-istiadat sebagaimana yang digariskan UU, Kepala Desa juga menjalankan fungsi sosial budayanya. Alasan yang dikemukakan umumnya adalah untuk mengembangkan masyarakatnya kearah yang lebih baik. Banyak Kepala Desa yang beranggapan bahwa adapt-istiadat itu suatu hal yang kuno, ketinggalan zaman dan sebagainya sehingga dengan dalih pengembangan masyarakat desa Kepala Desa kemudian mencampuri juga urusan-urusan adat istiadat dan hukum adat yang sesungguhnya dijalankan hanya oleh timanggong/kepala binua beserta perangkatnya dikampung-kampung. Menurut analisis beberapa pengamat social , paling tidak ada 2 alasan penting mengapa sentralisasi kekuasaan itu ada pada kepala desa. Pertama, dalam kaitan memasukan kepala desa sebagai bagian dari birokrasi nasional dan karenanya dapat digunakan untuk menjalankan program-program birokrasi secara umum maka kepala desa adalah lembaga yang paling tepat dan mudah untuk dimanfaatkan karena dalam proses pemilihan dan penilaian kinerjanya pemerintah atasan ( camat dan bupati ) berperan besar. Kedua, sentralisasi ini dapat mematikan perkembangan otonomi desa yang sejati karena pemerintah pada dasarnya tidak menghendaki hal tersebut.
Meskipun disebutkan bahwa desa mempunyai hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, tetapi hak yang dimaksud bukanlah otonomi asli. Implikasinya adalah tidak ada keharusan menghadirkan lembaga perwakilan yang juga sejati dari hakekat daerah otonom yang menghendaki adanya lembaga perwakilan semacam itu untuk memilih dan melakukan kontrol pada pemimpinnya. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga musyawarah desa yang anggota-anggotanya sebagian adalah aparat desa seperti kepala desa, sekretaris desa, kepala-kepala dusun, serta pemuka masyarakat dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial politik dan profesi. Yang menarik dari struktur keanggotaan lembaga ini adalah menonjolnya keinginan pemerintah Orde Baru untuk menyeleksi keanggotaan tersebut sehingga tidak memungkinkan kader-kader partai politik tertentu untuk menjadi anggota LMD atau kini disebut BPD. Dari pengalaman itu sebetulnya terjadi proses manipulasi dan kooptasi oleh kekuatan politik yang lebih kuat terhadap eksistensi kepala binua sebagai kepala wilayah adat dengan menempatkan kepala desa sebagai penguasa tunggal. Kecendrungan ini jelas sekali telah membatasi otonomi lembaga-lembaga adat sebagai salah satu pilar utama kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya sehari-hari antara berbagai kelompok masyarakat adat selama ini. Ketiga hal diatas pada akhirnya telah menghilangkan pusat-pusat orientasi yang menjadi pedoman masyarakat mencari kehidupan sebagaimana yang diinginkannya sendiri. Dan yang pasti bahwa sistem desa telah mengabaikan realitas keberagaman pola-pola dan mekanisme lokal yang sebenarnya menjadi bagian dan lebih sesuai bagi penyusunan struktur kelembagaan pemerintah Kabupaten Landak sehingga potensi otonomi dan keswadayaan masyarakat yang sudah ada tidak terbunuh sama sekali.

Berbeda dengan pengaruh desa, agama telah berhasil memainkan perannya yang strategis dalam upaya penghancuran adat. Melalui evangelis local , yang secara khusus dididik disuatu tempat, proses penghancuran adat secara radikal dimulai. Dalam proses perekrutan evangelis local, sesungguhnya pemimpin agama tidak menempatkannya secara professional, indikatornya adalah mayoritas evangelis baru yang direkrut dari komunitas adat adalah berasal dari tamatan SMP atau sederajat dan bahkan tidak tamat SD. Melalui dogma agama yang sarat sangat “militant”, 2 tahun kemudian mereka dikembalikan kekomunitasnya dan mulai mengajakkan “kabar baik”, dengan merekrut anggota baru. alhasil, komunitas adat terfragmentasi dalam beberapa kubu. Banyak sekali kasus dikomunitas adat yang terkait dengan pengabaran “kabar baik” yang dilakukan evangelis local ini, salah satunya dengan perusakan tempat keramat (panyugu), tempayan antic dan sebaginya, yang dilakukan dengan dalih kegiatan musyrik, primitive dan animis.
Secara ontologis, agama merupakan aspek transenden yang memuat atau dan mengajarkan sekumpulan nilai-nilai moralitas dan pedoman kehidupan yang harus berimplikasi ke dalam imanensi kehidupan umat manusia. Ia dihadirkan untuk mengantarkan umat manusia ke dalam suatu kondisi yang membuat mereka dapat mengaktualisasikan dimensi-dimensi kemanusiaannya secara utuh sebagai makhluk rasional dan spiritual sehingga kedamaian, ketenangan dan kesejahteraan dapat terwujud secara kukuh dalam kehidupan ini. Pelacakan terhadap ajaran substantif agama-agama akan membuktikan secara jelas tentang komitmen agama terhadap pengembangan kehidupan semacam itu. Namun di tingkat praksis, sejarah agama justru menampakkan diri dalam wajah yang berbeda, bahkan bertentangan dengan misi agama itu sendiri. Agama sering terlibat –tepatnya dilibatkan –dalam konflik-konflik kekerasan ditengah komunitas adat.

Penyudutan agama sebagai akar konflik ditengah komunitas adat, tidaklah berlebihan dalam hal hancurnya kehidupan beradat bagi komunitas adat saat ini. Konflik dikomunitas adat yang bernuansa agama dan adat sejatinya merupakan persoalan yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai dimensi kehidupan. Selain itu, dalam tataran realitas, konflik tersebut di berbagai daerah dan kawasan memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Meskipun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sampai batas-batas tertentu kekerasan (agama yang) sektarian dan etnik mempunyai keterkaitan ironik dengan eforia globalisasi dan transformasi institusional. Globalisasi sebagai upaya mewujudkan desa dunia dengan masyarakat yang mencerminkan kesederajatan dan kebersamaan masih bersifat angan-angan. Justru yang terjadi, globalisasi menjadi ajang pertarungan antara yang kuat, setengah kuat, dan lemah serta paling lemah. Ironisnya, kelompok yang lemah dan sangat lemah terus menjadi korban dan belum menikmati keuntungan dari proses modernitas tersebut. Sebagai akibatnya, ketidakberdayaan, kecemburuan, dan sebagainya mulai menyelimuti kelompok atau masyakat yang terpinggirkan. Dalam kehidupan yang dianggap mengancam tersebut, mereka akhirnya mempertentangkan perbedaan identitas antara mereka yang kuat dan lemah, antara yang “menang” dan “dikalahkan”. Agama, desa dan adat sebagai unsur yang paling mudah untuk mengembalikan semangat dan persatuan kelompok dijadikan alat untuk melawan dan memerangi ancaman di hadapan mereka. Selain itu, globalisasi dan modernitas telah membawa dampak krisis identitas terhadap suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Kondisi itu membuat kelompok atau komunitas yang merasa teralienasi berupaya mencari simbol-simbol yang dapat meneguhkan identitas mereka. Dalam konteks semacam itu, agama memperoleh fungsi yang krusial untuk membangun identitas mereka. Agama dijadikan alat untuk melawan kelompok, penguasa, atau bangsa yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap komunitas adat.

Tampaknya Karld W Deutsch, benar. Ia mangatakan bahwa mobilisasi social dapat mempengaruhi terjadinya konflik. Mobilisasi social yang dimaksud adalah sebagai keseluruhan dari proses perubahan social yang terjadi pada setiap masyarakat yang bergerak dari cara hidup tradisional ke modern. Unsure-unsru perubahan tersebut berupa pemberantasan buta huruf, tempat tinggal (urbanisasi), mata pencaharian (dari agrikultur ke nonagrikultur) dan berbegai karakteristik lain yang mengubah cara hidup yang tradisional. Mobilisasi jemaat yang dilakukan evangelis, telah menjadi contih konrit dalam hal ini.

Terpeliharanya hukum adat dan adat-istiadat pada masyarakat adat, merupakan alasan yang sangat menentukan bagi eksistensinya. Apalagi mengingat struktur organisasi bentukan pemerintah, belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat adat, bahkan seringkali digunakan sebagai cara untuk memasung dan mematikan dinamika kehidupan masyarakat adatnya. Menjaga eksistensi struktur kepengurusan masyarakat adat dalam dunia kehidupan masyarakat adatnya, bukan hal yang mudah. Berbagai kendala menjadi sebab ketidak mudahan tersebut. Berdasarkan hasil riset persoalan internal yang ditemui antara lain adanya sebagian masyarakat adat yang tidak mengetahui adat-istiadat, terutama di kalangan generasi muda serta menipisnya kebersamaan untuk mempertahankannya. Sementara faktor eksternal yang sangat mungkin adalah pengaruh aturan dan kebijakan pemerintah, serta pengaruh budaya asing. Pemerintah kadang cenderung memarjinalkan sistem dan tata nilai masyarakat adat Dayak, seperti pembentukan sistem pemerintahan masyarakat yang berkarakter seragam dan padu, perombakan sistem kehidupan rumah panjang menjadi rumah tunggal serta reforma agraria dan kehutanan, yang kurang berpihak kepada hak-hak masyarakat adat dan lain-lain. Untuk itu masyarakat adat perlu didorong guna membuat konsensus bersama, dengan membangun kesadaran kolektif kembali dalam rangka meningkatkan upaya pemberlakuan hukum-hukum adat. Termasuk pula nilai-nilai lokal, yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang sebenarnya, dengan mendorong tetap lestarinya adat-istiadat dari pengaruh budaya asing yang bertentangan. Pemerintah tentunya dalam hal ini harus mampu meregulasi dan mengeluarkan kebijakan, terutama yang menyentuh masyarakat adat. Berbagai aspek kearifan kultural harus diperhatikan, guna menciptakan produk hukum dan kebijakan berkarakter responsif. Ini tidak lain dimaksudkan untuk mewujudkan suatu keadilan yang substantif, sehingga dapat mengakomodasi nilai-nilai kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat adat.

Oleh: Yohanes Supriyadi

Read Rest Of Entry

Followers

 

The Island Of Borneo Copyright © 2011 Template Blog Is Designed by SiNyO