Sabtu, 24 September 2011

Musik Sape' Dayak

Sape’ adalah alat musik petik dari Dayak Kayaan-Kenyah. Bentuknya seperti gitar. Perbedaannya terdapat pada posisi grip dan tak adanya lubang untuk menggaungkan bunyi petikan senar. Sumber bunyi sape’ hanya berasal dari petikan senar.
 Alat musik ini biasa dimainkan dalam acara-acara adat. Dulu, alat musik sape’ juga sering dimainkan kaum muda ketika mereka berkumpul pada malam hari. Di perkampungan masyarakat Dayak Kayaan- Kenyah pada masa lalu, sape’ juga sering dipakai kaum muda untuk mendekati perempuan yang ditaksirnya.

Biasanya sape’ dimainkan di rumah panjang atau rumah betang, yaitu rumah komunal masyarakat Dayak. Rumah betang itu disekat-sekat untuk ruang pribadi masing-masing keluarga. Di rumah betang juga tersedia ruang besar untuk acara adat atau berkumpul keluarga besar yang tinggal di rumah betang tersebut. Di ruang besar itulah, pada masa lalu, para pemuda Dayak unjuk kebolehan bermain sape’.

Read Rest Of Entry

Rumah Huma Betang, Jantungnya Suku Dayak

KOMPAS.com – Indonesia begitu kental dengan warisan budaya, sebut saja dari rumah, tari-tarian, pakaian adat sampai makanan sangat kaya ragamnya. Sayangnya, kekayaan ini begitu mudahnya terlupa karena sentuhan modernitas dan rutinitas pekerjaan. Tergugah untuk mengenal lebih dalam kekayaan bangsa yang bergelar zamrud khatulistiwa ini? Simaklah salah satu catatan perjalanan Arsitek Lucia Harri Widiastuti tentang rumah Huma Betang, pusat kehidupan Suku Dayak, Kalimantan.

Ketika pesawat landing dengan cukup baik di bandara Tjilik Riwut, akhirnya saya diberi kesempatan untuk menginjakan kaki di tanah Borneo, tanah khatulistiwa, tanah Dayak. Walau sudah tengah malam, sekitar setengah dua belas malam ditambah tidak adanya penerangan jalan, saya sedikit melihat bahwa disana ada rawa gambut, semak belukar, yang mungkin saja mudah terbakar atau dibakar. Benar-benar khatulistiwa, dan benar-benar nyamuk.

Setelah dua hari berada di Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Katingan, saya baru bisa berbincang dengan penduduk lokal “Kalimantan adalah Dayak, Dayak adalah Kalimantan,” kata seorang perempuan suku Dayak yang terkenal dengan tatonya. Bahasa yang mereka gunakan susah saya cerna. Untung ada pak Wigo, penerjemah yang selalu mengartikan dalam bahasa Indonesia.

Ketika saya berharap akan melihat rumah tradisional suku Dayak, ternyata saya salah karena satupun tak tampak. Entah karena punah atau memang bukan wilayah pemukiman suku Dayak. Yang ada hanyalah rumah-rumah panggung gaya melayu dengan tambahan ornamen tombak silang di atapnya, lambang Kalimantan.

Tak ingin kecewa, saya mencoba menuangkan tentang arsitektur tradisional suku Dayak. Arsitektur tradisional adalah arsitektur asli suatu daerah yang sudah diwariskan turun temurun oleh nenek moyang, arsitektur yang kuat dengan adat, tradisi, pola hidup, budaya, alam, serta ideologi lokal. Sifatnya, tidak boleh di ganggu gugat oleh apapun. Kadang, manusia saja yang tidak tahu diri dengan mengubahnya. Tengkorak manusia yang dipajang pada Uma Mentawai sama nilanya dengan ukiran Huma Panjang. Masyarakat membangunnya bergotong royong tanpa ada campur tangan tenaga ahli. Rakyat suku itulah yang disebut sang ahli.

Dayak, sebagai salah satu suku tertua Indonesia memiliki keistimewaan tersendiri bagi saya. Arsitektur tradisional Dayak dikenal dengan Huma Betang, atau biasa disebut rumah panjang, atau Lamin. Huma Betang bisa dijumpai di seluruh penjuru Kalimantan, terlebih di daerah hulu sungai, tempat suku Dayak bermukim. Sungai-sungai di Kalimantan biasanya lebar dan dalam. Mereka menggunakan sampan yang siap dikayuh untuk berladang dan beraktivitas lainnya.

Huma Betang, bisa mencapai panjang 150 meter, lebar 30 meter, dan tinggi 3 meter. Ruangnya terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, ruang utama rumah; ruang yang menghubungkan manusia dengan alam surgawi. Kedua, ruang bunyi gong; ruang yang menghubungkan manusia dengan penghuni alam surgawi. Ketiga, ruang ragawi yang tidak kelihatan, atau ruang surgawi.

Rumah ini merupakan rumah panjang, dengan material kayu sebagai material utama sudah sejak lama diketahui bahwa kayu cocok dengan iklim Indonesia yang tropis. Tanah rawan gempa sudah mereka persiapkan dengan kayu-kayu yang tidak terpaku, hanya terkait, bahkan tidak tertanam. Nenek moyang kita memang pandai.

Tinggal di tepian sungai yang kadang kala terlanda banjir, menjadi alasan rumah panjang itu rumah panggung. Selain itu, rumah panggung juga berfungsi untuk menghindari dari ancaman binatang buas. Bahkan ada juga sebagai kandang binatang peliharaan.

Dalam satu Huma Betang biasanya dihuni oleh beberapa keluarga, layaknya suku Dayak yang hidup berkelompok. Rumah disekat sebagai pemisah antar keluarga. Jika penghuni hendak melakukan sesuatu, seluruh penghuni akan bermusyawarah dahulu, untuk menemukan sebuah kesepekatan bersama. Maka Huma Betang merupakan jantung dari suku Dayak itu sendiri.

Suku Dayak mempercayai dalam pembangunan Huma Betang, bagian hulu rumah mengarah ke tempat sang surya terbit, dan bagian hilir mengarah ke terbenamnya matahari. Ini menjadi filosofi suku Dayak, mereka meyakini bahwa dalam menjalani hidup dimulai dari sang terbit dan pulang ke rumah menuju sang tenggelam.

Huma Betang hanya memiliki satu pintu dan tangga utama yang dinamakan hejot. Di halaman depan Huma terdapat sebuah balai yang digunakan untuk menjamu tamu atau untuk pertemuan. Di halaman tersebut juga ada sebuah patung berukir atau totem berbentuk manusia disebut sapundu. Sapandu digunakan untuk menancapkan binatang yang hendak dikurbankan saat tiwah. Halaman Huma Betang juga memiliki petahu; sebuah rumah terpisah yang dikhususkan sebagai rumah pemujaan.

Ada pula sejenis gudang bernama tukau di halaman belakang untuk menyimpan alat-alat pertanian, bawong untuk menyimpan senjata, sandung atau pambak sebagai tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal yang telah di tiwah. Sandung bisa ditempatkan di halaman depan atau di belakang.

Selain rumah sebagai jantung kehidupan, Kalimantan identik dengan sungai. Kali ini sungai itu bernama Katingan. Dari hulu ke hilir mencapai 650 km, lebarnya bisa mencapai 65 m, kedalaman 12 m. Tidak seperti halnya masyarakat Jakarta yang mempergunakan sungai sebagai halaman belakang, suku Dayak mengarahkan orientasi tata ruang menuju sungai. Sungai sebagai halaman depan. Maka, yang terlihat adalah sungai bersih berarus deras, dan memiliki fungsi ekonomi, sosial, bahkan budaya.

Sungguh, suatu pengalaman tersendiri menginjak tanah Borneo. Karena masih ada sungai yang mungkin kita tidak tahu bagaimana kembali ke hilir ketika mengayuh menuju hulu

Read Rest Of Entry

Kebudayaan Kalimantan Barat

Kalimantan Barat semua pasti sudah tahu letaknay ada di kalimantan bagian barat, provinsi ini mempunyai kebudayaan yang unik karena berbatasan langsung dengan negara tetangga disini akan kita lihat ada berbgai budaya yang ada di kalimantan barat ada budaya dayak yang eksotis dan magis, budaya yang unik dari pakain adat samapai tariannya juga kehidupan masyarakatnya yang menyatu dengan alam sungguh budaya yang tiada duanya, ada juga budaya melayu yang unik juga disini ada juga budaya tionghoa tepatnya di kota singkawang yang sudah menjadi bagian dari kalimantan barat, inilah beberapa foto budaya kalimantan barat budaya bumi borneo sebutan untuk pulau kalimantan.

Read Rest Of Entry

Panglima Burung, Antara Mitos dan Fakta

Panglima Burung, Antara Mitos dan Fakta - Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok panglima tertinggi masyarakat Dayak, Panglima Burung, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.


Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.

Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.

Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.

Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.

Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.

Amun ikam kada maulah sual awan ulun, ulun gen kada handak jua bahual lawan pian malah ulun maangkat dingsanak awan pian, begitu yang diucapkan orang Kalimantan khususnya orang Banjar untuk menggambarkan sikap dari orang-orang Dayak.

Read Rest Of Entry

Jumat, 23 September 2011

Gawai Dayak

Gawai Day or Gawai Dayak is a festival celebrated in Sarawak on 1 June every year. It is both a religious and social occasion. The word Gawai means a ritual or festival whereas Dayak is a collective name for the native ethnic groups of Sarawak (and neighboring Indonesian Kalimantan): the Iban, also known as Sea Dayak and the Bidayuh people, also known as Land Dayak. Thus, Gawai Dayak literally means "Dayak Festival". Dayak would visit their friends and relatives on this day. Such visit is more commonly known as "ngabang" in the Iban language. Those too far away to visit would receive greeting cards.

It started back in 1957 in a radio forum held by Mr Ian Kingsley, a radio programme organiser. This generated a lot of interest among the Dayak community.

The mode of celebration varies from place to place. Preparation starts early. Tuak (rice wine) is brewed (at least one month before the celebration) and traditional delicacies like penganan (cakes from rice flour, sugar and coconut milk) are prepared. As the big day approaches, everyone will be busy with general cleaning and preparing food and cakes. On Gawai Eve, glutinous rice is steamed in bamboo (ngelulun pulut). In the longhouse, new mats will be laid out on the ruai (an open gallery which runs through the entire length of the longhouse). The walls of most bilik (rooms) and the ruai are decorated with Pua Kumbu (traditional blankets). A visit to clean the graveyard is also conducted and offerings offered to the dead. After the visit it is important to bathe before entering the longhouse to ward off bad luck.

The celebration starts on the evening of 31 May. In most Iban longhouses, it starts with a ceremony called Muai Antu Rua (to cast away the spirit of greed), signifying the non-interference of the spirit of bad luck in the celebration. Two children or men each dragging a chapan (winnowing basket) will pass each family's room. Every family will throw some unwanted article into the basket. The unwanted articles will be tossed to the ground from the end of the longhouse for the spirit of bad luck.

Around 6 pm or as the sun sets, miring (offering ceremony) will take place. Before the ceremony, gendang rayah (ritual music) is performed. The Feast Chief thanks the gods for the good harvest, and asks for guidance, blessings and long life as he waves a cockerel over the offerings. He then sacrifices the cockerel and a little blood is used together with the offerings.

Once the offering ceremony is done, dinner is then served at the ruai. Just before midnight, a procession up and down the ruai seven times called Ngalu Petara (welcoming the spirit gods) is performed. During this procession, a beauty pageant to choose the festival's queen and king (Kumang & Keling Gawai) is sometimes conducted. Meanwhile, drinks, traditional cakes and delicacies are served.

At midnight, the gong is beaten to call the celebrants to attention. The longhouse Chief (tuai rumah) or Festival Chief will lead everyone to drink the Ai Pengayu (normally tuak for long life) and at the same time wish each other "gayu-guru, gerai-nyamai" (long life, health and prosperity). The celebration now turns merrier and less formal. Some will dance to the traditional music played, others will sing the pantun (poems). In urban areas, Dayaks will organise gatherings at community centres or restaurants to celebrate the evening.

Other activities that may follow the next few days include: cock-fighting matches, and blowpipe and ngajat competitions. On this day, 1 June, homes of the Dayaks are opened to visitors and guests.

Traditionally, when guests arrive at a longhouse, they are given the ai tiki as a welcome. From time to time, guests are served tuak. This would be called nyibur temuai which literally means "watering of guests".

Christian Dayaks normally attend a church mass service to thank God for the good harvest.

Gawai Dayak celebrations may last for several days. It is also during this time of year that many Dayak weddings take place, as it is one of the rare occasions when all the members of the community return home to their ancestral longhouse.

Up till 1962, the British colonial government refused to recognise Dayak Day. Gawai Dayak was formally gazetted on 25 September 1964 as a public holiday in place of Sarawak Day. It was first celebrated on 1 June 1965 and became a symbol of unity, aspiration and hope for the Dayak community. Today, it is an integral part of Dayak social life. It is a thanksgiving day marking good harvest and a time to plan for the new farming season or activities ahead.

Read Rest Of Entry

Kamis, 15 September 2011

Dayak people



History of the Dayak People
The consensus interpretation in modern anthropology is that nearly all indigenous peoples of South East Asia, including the Dayaks, are descendants of a larger Austronesian migration from Asia, thought to have settled in the South East Asian Archipelago some 3,000 years ago. The first populations spoke closely-related Austronesian languages, from which Dayak languages are traced. About 2,450 years ago, metallurgy was introduced; it later became widespread.

The main ethnic groups of Dayaks are the Bakumpai and Dayak Bukit of South Kalimantan, The Ngajus, Baritos, Benuaqs of East Kalimantan, the Kayan and Kenyah groups and their subtribes in Central Borneo and the Ibans, Embaloh (Maloh), Kayan, Kenyah, Penan, Kelabit, Lun Bawang and Taman populations in the Kapuas and Sarawak regions. Other populations include the Ahe, Jagoi, Selakau, Bidayuh, and Kutais.

The Dayak people of Borneo possess an indigenous account of their history, partly in writing and partly in common cultural customary practices. In addition, colonial accounts and reports of Dayak activity in Borneo detail carefully cultivated economic and political relationships with other communities as well as an ample body of research and study considering historical Dayak migrations. In particular, the Iban or the Sea Dayak exploits in the South China Seas are documented, owing to their ferocity and aggressive culture of war against sea dwelling groups and emerging Western trade interests in the 19th and 20th centuries.

During World War II, the Japanese occupied Borneo and treated all of the indigenous peoples poorly - massacres of the Malay and Dayak peoples were common, especially among the Dayaks of the Kapit Division. Following this treatment, the Dayaks formed a special force to assist the Allied forces. Eleven United States airmen and a few dozen Australian special operatives trained a thousand Dayaks from the Kapit Division to battle the Japanese with guerilla warfare. This army of tribesmen killed or captured some 1,500 Japanese soldiers and were able to provide the Allies with intelligence vital in securing Japanese-held oil fields.

Coastal populations in Borneo are largely Muslim in belief, however these groups (Ilanun, Melanau, Kadayan, Bakumpai, Bisayah) are generally considered to be Islamized Dayaks, native to Borneo, and heavily influenced by the Javanese Majapahit Kingdoms and Islamic Malay Sultanates.

Traditional headhunter culture
In the past the Dayak were feared for their ancient tradition of headhunting practices. After conversion to Islam or Christianity and anti-headhunting legislation by the colonial powers the practice was banned and disappeared, only to resurface in the late 90s, when Dayak started to attack Madurese emigrants in an explosion of ethnic violence.


Agricultural
Traditionally, Dayak agriculture was based on swidden rice cultivation. Agricultural Land in this sense was used and defined primarily in terms of hill rice farming, ladang (garden), and hutan (forest). Dayaks organised their labour in terms of traditionally based land holding groups which determined who owned rights to land and how it was to be used. The "green revolution" in the 1950s, spurred on the planting of new varieties of wetland rice amongst Dayak tribes.

The main dependence on subsistence and mid-scale agriculture by the Dayak has made this group active in this industry. The modern day rise in large scale monocrop plantations such as palm oil and bananas, proposed for vast swathes of Dayak land held under customary rights, titles and claims in Indonesia, threaten the local political landscape in various regions in Borneo. Further problems continue to arise in part due to the shaping of the modern Malaysian and Indonesian nation-states on post-colonial political systems and laws on land tenure. The conflict between the state and the Dayak natives on land laws and native customary rights will continue as long as the colonial model on land tenure is used against local customary law. The main precept of land use, in local customary law, is that cultivated land is owned and held in right by the native owners, and the concept of land ownership flows out of this central belief. This understanding of adat is based on the idea that land is used and held under native domain. Invariably, when colonial rule was first felt in the Kalimantan Kingdoms, conflict over the subjugation of territory erupted several times between the Dayaks and the respective authorities.

Religion
The Dayak indigenous religion has been given the name Kaharingan, and may be said to be a form of animism. For official purposes, it is categorized as a form of Hinduism in Indonesia. Nevertheless, these generalizations fail to convey the distinctiveness, meaningfulness, richness and depth of Dayak religion, myth and teachings. Underlying the world-view is an account of the creation and re-creation of this middle-earth where the Dayak dwell, arising out of a cosmic battle in the beginning of time between a primal couple, a male and female bird/dragon (serpent). Representations of this primal couple are amongst the most pervasivel motifs of Dayak art. The primal mythic conflict ended in a mutual, procreative murder, from the body parts of which the present universe arose stage by stage. This primal sacrificial creation of the universe in all its levels is the paradigm for, and is re-experienced and ultimately harmoniously brought together (according to Dayak beliefs) in the seasons of the year, the interdependence of river (up-stream and down-stream) and land, the tilling of the earth and fall of the rain, the union of male and female, the distinctions between and cooperation of social classes, the wars and trade with foreigners, indeed in all aspects of life, even including tattoos on the body, the lay-out of dwellings and the annual cycle of renewal ceremonies, funeral rites, etc. The practice of Kaharingan differs from group to group, but shamans, specialists in ecstatic flight to other spheres, are central to Dayak religion, and serve to bring together the various realms of Heaven (Upper-world) and earth, and even Under-world, for example healing the sick by retrieving their souls which are journeying on their way to the Upper-world land of the dead, accompanying and protecting the soul of a dead person on the way to their proper place in the Upper-world, presiding over annual renewal and agricultural regeneration festivals, etc. Death rituals are most elaborate when a noble (kamang) dies. On particular religious occasions, the spirit is believed to descend to partake in celebration, a mark of honour and respect to past ancestors and blessings for a prosperous future.

Over the last two centuries, some Dayaks converted to Islam, abandoning certain cultural rites and practices. Christianity was introduced by European missionaries in Borneo. Religious differences between Muslim and Christian natives of Borneo has led, at various times, to communal tensions. Relations, however between all religious groups are generally good.

Muslim Dayaks have however retained their original identity and kept various customary practices consistent with their religion.

An example of common identity, over and above religious belief, is the Melanau group. Despite the small population, to the casual observer, the coastal dwelling Melanau of Sarawak, generally do not identify with one religion, as a number of them have Islamized and Christianised over a period of time. A few practise a distinct Dayak form of Kaharingan, known as Liko. Liko is the earliest surviving form of religious belief for the Melanau, predating the arrival of Islam and Christianity to Sarawak. The somewhat patchy religious divisions remain, however the common identity of the Melanau is held politically and socially. Social cohesion amongst the Melanau, despite religious differences, is markedly tight.

Despite the destruction of pagan religions in Europe by Christians, most of the people who try to conserve the Dayak's religion are missionaries. For example Reverend William Howell who has contributed to the Sarawak National Gazette. His contributions were also compiled in the book The Sea Dayaks and Other Races of Sarawak.

Society
Kinship in Dayak society is traced in both lines. Although, in Dayak Iban society, men and women possess equal rights in status and property ownership, political office has strictly been the occupation of the traditional Iban Patriarch. Overall Dayak leadership in any given region, is marked by titles, a Penghulu for instance would have invested authority on behalf of a network of Tuai Rumah's, and so on to a Temenggung or Panglima. It must be noted that individual Dayak groups have their social and hierarchy systems defined internally, and these differ widely from Ibans to Ngajus and Benuaqs to Kayans.


The most salient feature of Dayak social organisation is the practice of Longhouse domicile. This is a structure supported by hardwood posts that can be hundreds of metres long, usually located along a terraced river bank. At one side is a long communal platform, from which the individual households can be reached. The Iban of the Kapuas and Sarawak have organized their Longhouse settlements in response to their migratory patterns. Iban Longhouses vary in size, from those slightly over 100 metres in length to large settlements over 500 metres in length. Longhouses have a door and apartment for every family living in the longhouse. For example, a Longhouse of 200 doors is equivalent to a settlement of 200 families.

Headhunting was an important part of Dayak culture, in particular to the Iban and Kenyah. There used to be a tradition of retaliation for old headhunts, which kept the practice alive. External interference by the reign of the Brooke Rajahs in Sarawak and the Dutch in Kalimantan Borneo curtailed and limited this tradition. Apart from massed raids, the practice of headhunting was then limited to individual retaliation attacks or the result of chance encounters. Early Brooke Government reports describe Dayak Iban and Kenyah War parties with captured enemy heads. At various times, there have been massive coordinated raids in the interior, and throughout coastal Borneo, directed by the Raj during Brooke's reign in Sarawak. This may have given rise to the term, Sea Dayak, although, throughout the 19th Century, Sarawak Government raids and independent expeditions appeared to have been carried out as far as Brunei, Mindanao, East coast Malaya, Jawa and Celebes. Tandem diplomatic relations between the Sarawak Government (Brooke Rajah) and Britain (East India Company and the Royal Navy) acted as a pivot and a deterrence to the former's territorial ambitions, against the Dutch administration in the Kalimantan regions and client Sultanates.

Metal-working is elaborately developed in making mandaus (machetes - 'parang' in Indonesian ). The blade is made of a softer iron, to prevent breakage, with a narrow strip of a harder iron wedged into a slot in the cutting edge for sharpness. In headhunting it was necessary to able to draw the parang quickly. For this purpose, the mandau is fairly short, which also better serves the purpose of trailcutting in dense forest. It is holstered with the cutting edge facing upwards and at that side there is an upward protrusion on the handle, so it can be drawn very quickly with the side of the hand without having to reach over and grasp the handle first. The hand can then grasp the handle while it is being drawn. The combination of these three factors (short, cutting edge up and protrusion) makes for an extremely fast drawing-action. The ceremonial mandaus used for dances are as beautifully adorned with feathers, as are the costumes. There are various terms to describe different types of Dayak blades. The Nyabor is the traditional Iban Scimitar, Parang Ilang is common to Kayan and Kenyah Swordsmiths, and Duku is a multipurpose farm tool and machete of sorts.

Politics
Dayaks in Indonesia and Malaysia have figured prominently in the politics of these countries. Organised Dayak political representation in the Indonesian State first appeared during the Dutch Administration, in the form of the Dayak Unity Party (Parti Persatuan Dayak) in the 30s and 40s. Feudal Sultanates of Kutai, Banjar and Pontianak figured prominently prior to the rise of the Dutch Colonial rule.

Dayaks in Sarawak in this respect, compare very poorly with their organised brethren in the Indonesian side of Borneo, partly due to the personal fiefdom that was the Brooke Rajah dominion, and possibly to the pattern of their historical migrations from the Indonesian part to the then pristine Rajang Basin. Political circumstances aside, the Dayaks in the Indonesian side actively organised under various associations beginning with the Sarekat Dayak established in 1919, to the Parti Dayak in the 40s, and to the present day, where Dayaks occupy key positions in government.

In Sarawak, Dayak political activism had its roots in the SNAP (Sarawak National Party) and Pesaka during post independence construction in the 1960s. These parties shaped to a certain extent Dayak politics in the State, although never enjoying the real privileges and benefits of Chief Ministerial power relative to its large electorate.

Under Indonesia's transmigration programme, settlers from densely-populated Java and Madura were encouraged to settle in the Indonesian provinces of Borneo. The large scale transmigration projects initiated by the Dutch and continued by the current national government, caused widespread breakdown in social and community cohesion during the late 20th Century. In 2001 the Indonesian government ended the gradual Javanese settlement of Indonesian Borneo that began under Dutch rule in 1905.

From 1996 to 2003 there were systemic and violent attacks on Indonesian Madurese settlers, including mass executions of whole Madurese transmigrant communities. The violence culminated in the Sampit conflict in 2001 which saw more than 500 deaths in that year alone. Eventually, order was restored by the Indonesian Military but this was late in application.

Read Rest Of Entry

Rabu, 14 September 2011

Sejarah Perpolitikan Dayak di Kal-Bar

Pembaca yang terhormat,agar sejarah politik Dayak di Kalimantan Barat terdokumentasikan, saya mencoba untuk merangkainya dari berbagai sumber. mudah-mudahan dapat dilengkapi oleh kawan-kawan peminat sejarah dan politik Dayak. mohon kritik dan sarannya serta masukan datanya dikirim via email ke saya. terima kasih.

22 Mei - 24 Juli 1894
Musyawarah Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu Kalimantan Tengah. Para kepala adat se-kalimantan berkumpul dan sepakat untuk menghentikan “pengayauan” antar orang Dayak. Musyawarah ini disaksikan oleh pemerintah kolonial Belanda.

1919
Berdiri Sarikat Dayak di Kalimantan Tengah. Pendirinya M. Lampe, Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian L. Kamis, Tamanggung Toendan, Achmad Anwar, Hausman Baboe dan Mohamad Norman.

20 Agustus 1938
Sarikat Dayak diubah menjadi Pakat Dayak. Kantor pusat dipindahkan ke Kalimantan Selatan. Ketua umumnya sdr Mahir Mahar

13 Mei 1944
Deklarasi Angkatan Perang Majang Desa. Dari bulan April hingga Agustus 1944, terjadi Perang yang dikenal dengan Perang Madjang Desa di Embuan Kunyil, Kec. Meliau Kab. Sanggau. Pendirinya Temenggung Mandi/Pang Dandan, Menera alias Pang Suma, Agustinus Timbang,dkk

30 Oktober 1945
Berdiri Daya In Action (DIA) di Putussibau Kapuas Hulu Kalbar, didirikan oleh FC. Palaoensoeka,dkk dengan pastor moderator Pastor Adikarjana,SJ.

1 Nopember 1945
DIA diubah menjadi Partai Persatuan Daya (PD). Kantor pusat dipindahkan ke Pontianak. Tokoh-tokohnya antara lain Oevaang, AF Korak, Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun, HM Sauk, FC Palaoensoeka.

Oktober 1946
NICA mendirikan sebuah Dewan Kalimantan Barat yang beranggotakan perwakilan dari 40 kelompok etnis, pegawai pemerintah dan seorang anggota dari masing-masing keswaprajaan yang baru dikukuhkan kembali. Letnan Gubernur Van Mook tampak menggunakan dewan ini sebagai batu loncatan untuk membuat negara sendiri di Kalimantan Barat seperti yang telah dilakukannya untuk negara Indonesia Timur di dalam kaitannya mendirikan Negera Indonesia Serikat (federasi)

12 Mei 1947
Karesidenan Kalbar diubah menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Melalui DIKB ini, para pengurus PD (Oevaang, AF Korak, Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun, HM Sauk) diangkat menjadi anggota badan pemerintah harian (Dagelijhk Bertuur) Daerah Istimewa Kalimantan Barat.

13-15 Juli 1950
Kongres Pertama PD Se-Kalimantan Barat di Sanggau. Ketua Umum pertama PD: FC Palaoensoeka. Dalam upayanya untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan colonial, PD mencanangkan program (dan kredo) pemberdayaan diri: “nasibmu terletak pada usahamu” (di usahamu letak nasibmu).

29 September 1955
PEMILU untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Persatuan Daya (PD) memperoleh 146.054 suara atau 0,39% dan berhak mendapat 1 kursi DPR-RI.

15 Desember 1955
PEMILU anggota Konstituante. Persatuan Daya (PD) memperoleh 169.222 suara atau 0,45% dan berhak mendapat 3 kursi di Konstituante.

1 Maret 1956
Pengumuman Hasil Pemilu 1955. Berikut Hasil Pemilu 1955 di Kalbar: Persatuan Dayak 12 kursi, Masyumi 9 Kursi, PNI 4 kursi, NU 2 kursi, IPKI 1 kursi, PSI 1 kursi dan PKI 1 kursi. Total kursi yang tersedia 30 kursi.

1 Januari 1957
Propinsi Kalimantan Barat terbentuk berdasarkan UU No 25 Tahun 1956. Gubernur Pertama adalah AP. Afllus, periode 1957-1958 menyusul DA Yudadibrata pada periode 1958-1959.

13 Nopember 1958
Sidang I DPRD Kalbar yang menetapkan 3 calon Kepala Daerah yakni YC Oevang Oeray (PD), Musani A.Rani (Masyumi) dan Lumban Tobing (PNI). Melalui Keppres RI No 59 Tahun 1959, Oevang Oeray ditetapkan sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalbar. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dikeluarkanlah Penpres No.6/1959 tentang Bentuk, Susunan, Tugas dan Kekuasaan Pemerintah Daerah.

14 Nopember 1959
Sidang DPRD Tk I Kalbar, Oevang Oeray berhasil terpilih sebagai Gubernur KDH Tk.I Kalbar yang disahkan oleh Keppres No.465/1959, tanggal 24 Desember 1959 untuk periode 1 Januari 1960-12 Juli 1966.

5 Juli 1959
Dekrit Presiden, yang menyatakan pembubaran Konstituante dan berlaku kembali UUD’45. Presiden Soekarno secara sepihak melalui Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

4 Juni 1960
Presiden membubarkan DPR-RI hasil Pemilu 1955 setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah.

1960-1966
Beraliansi dengan PNI, PD berhasil menempatkan orang-orangnya dipemerintahan, yakni:
1. Anggota konstituante (JC Oevang Oeray, A. Djelani, Wilibrodus Hitam yang meninggal dan digantikan Daniel, wedana Bengkayang).
2. DPR-RI (FC Palaunsoeka),
3. Gubernur (Oevang Oeray), dan
4. Bupati (MTH Djaman/Sanggau, GP Djaoeng/Sintang, Amastasius Syahdan/Kapuas Hulu dan Agustinus Djelani/Pontianak).

Bulan Juli 1966
Gubernur Oevang Oeray, digulingkan dari kekuasaannya karena dituduh orang Soekarno, karena posisinya di Partindo, sebuah partai politik yang didirikan Soekarno. Selain tokoh politik PD dihabisi pemerintah, banyak PNS Dayak yang diberhentikan dengan tuduhan terlibat PKI, sebuah partai yang mencoba melakukan KUDETA tahun 1965 di Jakarta dan membunuh jendral-jendral TNI Angkatan Darat

Menjelang tahun 1967
Oleh rezim Orde Baru, 4 Bupati orang Dayak dari PD juga diganti.

23 Maret 1985
Berdiri Dewan Adat Dayak Kab. Pontianak di SMP Anjungan Kab. Pontianak. Terpilih F. Bahaudin Kay sebagai Ketua Umum DAD.

9 Februari 1994
Pemilihan Bupati Sintang, Drs. LH Kadir kalah karena dibohongi Golkar. Disepanjang lereng Gunung Seha’ Kab. Landak ratusan massa Dayak memblokir jalan dan menebang pohon karena kecewa dengan Golkar.

12 Agustus 1994
Berdiri Majelis Adat Dayak Kalbar di Kota Pontianak. Terpilih sebagai ketua umum Yacobus F. Layang,SH, dan Sekretaris Umum DR. Piet Herman Abik M.App.Sc

1995
Pemilihan Bupati Kapuas Hulu, Yacobus F Layang,SH berhasil terpilih. Inilah Bupati pertama Orang Dayak pasca Persatuan Dayak (PD) atau selama pemerintah Orde Baru berkuasa.

13 Maret 1995
Dibentuk Pengurus Daerah Paguyuban Salus Populi Kalbar, yang diketuai Drs SM Kaphat, sebuah organisasi pengkaderan umat katolik dalam bidang politik.

1996/1997
Terjadi kerusuhan antar etnik Dayak dengan Madura di Sanggau Ledo Kabupaten Sambas (Sekarang Kabupaten Bengkayang), dan meluas di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sanggau.

1998
Pemilihan Bupati Sanggau, Michael Anjioe terpilih sebagai Bupati Dayak ketiga di Kalbar. Terjadi aksi ribuan massa Dayak menolak Calon yang diusung Golkar (Drs Soemitro) dan menurunkan paksa ZA Baisuni (militer-madura) sebagai Bupati Sanggau.

5 Februari 1999
Pemilihan Bupati Pontianak, Drs. Cornelius Kimha, M.Si menjadi Bupati Dayak kedua di Kalbar. Terjadi pembakaran Gedung DPRD Mempawah oleh ribuan massa yang kecewa karena calonnya (Drs. Cornelis, Camat Menyuke, sekarang Gubernur Kalbar) tidak terakomodir partai politik di DPRD

1999
Terjadi kerusuhan antar etnik Melayu—Dayak dengan Madura di Kabupaten Sambas, meluas di Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang.

5 Desember 1999
Musyawarah Besar Ikatan Keluarga Dayak Islam (IKDI) Kalbar di Auditorium Universitas Muhammadiyah Pontianak. Organisasi ini diketuai oleh Drs. Husni Amanullah.

1999
Pemilihan MPR-RI Utusan Daerah Kalbar, dalam pemilihan, Dayak menuntut perimbangan 2:2:1 (2 Dayak, 2 Melayu dan 1 Tionghoa), namun perjuangan ini kandas dan aksi ribuan massa Dayak dibalas dengan serangan fisik oleh TNI dan Polisi terhadap massa yang mencoba membakar Gedung DPRD Propinsi Kalbar. Beberapa orang massa luka-luka.

1999
Drs. Yacobus Luna terpilih sebagai plt Bupati Bengkayang, Bupati Dayak keempat di Kalbar. Pemekaran Kabupaten Sambas. Dalam Pemilihan Bupati Bengkayang, Yacobus Luna berhasil terpilih untuk periode 2000-2005

2001
Gagal pada pemilihan Bupati Pontianak tahun 1998, Drs Cornelis, terpilih sebagai Bupati Landak, Bupati Dayak kelima di Kalbar. Pemekaran Kabupaten Pontianak tahun 2000. dalam pemilihan Bupati Landak, Drs Cornelis berhasil terpilih sebagai bu[ati periode 2001-2006.

2002
Drs Elyakim Simon Djalil, terpilih sebagai Bupati Sintang, Bupati Dayak keenam di Kalbar. Ada aksi-aksi massa Dayak yang menuntut agar Bupati harus Dayak

Mei 2003
Menghadapi Pemilihan Gubernur Kalbar tahun 2003, GP Djaoeng, Mantan Bupati Sintang dimasa Partai Persatuan Dayak mengajak elit politik Dayak untuk bersatu (baca: KR No.93/Th.XII/Mei 2003)

18 November 2003
Blokade Bis disebadu sehubungan tidak adanya Calon Gubernur Dayak yang mandapat perahu partai politik di propinsi. Di Desa Sebadu dan Desa Garu Kab. Landak. Ribuan massa rakyat Dayak kecewa dan memblokir jalan serta menebang pohon. Aksi reda setelah Bupati Landak, Drs. Cornelis turun tangan dan mengajak massa untuk berhenti beraksi jalanan. Pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, kelompok Dayak tidak terwakili (semua menjadi Calon Wakil Gubernur)

9 April 2004
PEMILU Legislatif. Berikut perolehan kursi DPRD Propinsi Kalbar: Golkar 14 Kursi, PDIP 10 Kursi, PPP 8 Kursi, PD 7 Kursi, PAN 4 Kursi, PKS 2 Kursi, PDS 3 Kursi, PBR 2 Kursi, Merdeka, PDK, PKB,PNBK dan PKPB masing-masing 1 kursi. Total kursi di DPRD Propinsi 55 Kursi. 15 kursi diantaranya diisi oleh anggota DPRD Propinsi Kalbar dari etnis Dayak yang tersebar pada 6 partai politik yakni: PDIP, Golkar, P. Demokrat, P. Merdeka, PDK dan PDS.

2005
Pasca Pemilu 2004, sistem Pemilihan Kepala Daerah berubah menjadi Pemilihan Langsung oleh Rakyat (PILKADA) berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005. Syarat calon adalah diusung oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dengan suara minimal 15%

26 Juli 2005
Berdiri secara resmi Pergerakan Cendekiawan Dayak (PCD) Kalbar sebagai wadah alternatif perjuangan politik orang Dayak. PCD bercita-cita mengumpulkan seluruh sumber daya lokal, nasional dan internasional untuk Kemajuan dan Perjuangan Politik Orang Dayak di Kalimantan. Tokoh-tokohnya Ir. Kristianus Atok, Ir. Dominikus Baen, Surianata S.Pd, Drs. Stevanus Buan, Yohanes Supriyadi, SE, Agustinus, S.Pd, Mikael, SH, Frans Ateng, SE, Lempeng, S.Pd, dll

2005
Pilkada Sintang, terpilih Drs. Milton Crosby, M,Si. (Dayak) Sebagai bupati (Gabungan Partai Politik)

2005
Pilkada Bengkayang, terpilih Drs. Yacobus Luna M.Si (Dayak) sebagai Bupati (PDI Perjuangan)

2005
Pilkada Sekadau, terpilih Simon Petrus,S.Sos (Dayak) sebagai Bupati (Gabungan Partai Politik)

2005
Pilkada Melawi, terpilih Drs. Suman Kurik,MM (Dayak) sebagai Bupati (Gabungan Partai Politik)

2006
Pilkada Landak, terpilih Drs. Cornelis,MH (Dayak) sebagai Bupati (PDI Perjuangan)

2007
Pilkada Gubernur Kalbar periode 2008-2013 yang dilaksanakan pada bulan Nopember 2007. Dalam Pilkada ini, Golkar dan PDIP secara otomatis dapat mencalonkan kadernya sebagai Calon Gubernur Kalbar karena melewati 15% dari total suara hasil Pemilu 2004. Golkar mengajukan pasangan Usman Jafar dengan LH Kadir, Sedangkan kandidat di PDIP adalah Drs. Cornelis,MH (Ketua DPD PDIP Kalbar yang juga Bupati Landak). Koalisi Partai Demokrat mengajukan Usman Sapta/ Ignatius Liong, dan partai non parlemen mengajukan Akil Mochtar/AR Mecer. Dari keempat kandidat Gubernur Kalbar tersebut diatas, hanya satu (1) dari kalangan etnis Dayak yakni Drs. Cornelis,MH.

2008
Tanggal 14 Januari 2008, telah dilantik Drs Cornelis MH dan Christiandy Sanjaya sebagai Gubernur Kalbar dan Wakil Gubernur Kalbar periode 2008-2013.

Read Rest Of Entry

Followers

 

The Island Of Borneo Copyright © 2011 Template Blog Is Designed by SiNyO